Selasa, 07 Desember 2010

Lalu Lintas Sungai

 Di hampir sebagian besar tempat di Kalimantan, sarana trasportasi air masih menjadi pilihan utama. Penggunaan speedboat dan kelotok merupakan pemandangan sehari-hari. Meski banyak ruas jalan aspal telah dibangun, sebagian besar masyarakat yang mendiami kampung-kampung di sepanjang pesisir sungai, masih mengandalkan sarana transportasi air untuk berbagai keperluan mereka.









Sebagaimana layaknya jalan raya, river highway pun punya rambu-rambu lalulintas yang harus dipatuhi segenap pemakai aliran air. Tanda lalulintas yang paling sering terlihat adalah tanda adanya persimpangan, baik yang tegak lurus maupun bercabang. Ini menjadi petunjuk para driver speedboat ataupun kelotok untuk berhati-hati terhadap kemungkinan munculnya perahu dari arah lain.



Tanda yang khas dan mungkin tidak dijumpai di jalan raya adalah tanda gelombang yang berarti perahu harus mengurangi kecepatan atau kalau perlu berhenti agar gelombang yang ditimbulkan tidak mengganggu pengguna air lainnya. Tanda ini biasa dipasang menjelang pemukinan tepi sungai atau pada kawasan yang lalulintas airnya padat. Perahu dengan kecepatan tinggi (misalnya speedboat) umumnya menimbulkan riak gelombang yang cukup besar. Gelombang ini bisa merusak tiang-tiang rumah yang dilewati. Bahkan dalam beberapa kasus, bisa menenggelamkan sampan atau perahu kayuh yang ukurannya relatif lebih kecil.

Yang tidak pernah terlihat di sungai apa ya?
Polisi tidur, barangkali....


Jumat, 19 November 2010

Orangutan, The Real Actor Of Tanjung Puting


 
Taman Nasional Tanjung Puting tidak pernah sepi pengunjung. Meskipun harus berlama-lama di atas perahu kelotok, toh pengunjung – terutama turis asing – datang silih berganti. Apa yang mereka cari? Apa yang ingin mereka lihat?

Orangutan!


Primata dengan nama ilmiah Pongo pygmaeus ini, memang merupakan primadona di sana. Kera besar yang juga disebut mawas ini ditemukan di hutan hujan tropika di malaysia dan Indonesia (khususnya di Kalimantan dan Sumatera). Hasil penelitian menyebutkan bahwa orangutan memiliki hubungan kekerabatan yang termasuk dekat dengan manusia pada tingkat kingdom animalia, dimana orangutan memiliki tingkat kesamaan DNA sebesar 96,4%.


Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa tingkah laku orangutan banyak kemiripannya dengan manusia. Dan dengan asumsi yang sama pula bisa dijelaskan kenapa kita begitu menyukai mahluk yang satu ini. Jadi tidaklah mengherankan jika orang rela datang jauh-jauh ke Tanjung Puting untuk sekedar melihat dari dekat – bahkan kalau bisa foto bersama – dengan mahluk berlengan panjang dan berbulu kemerah-merahan itu.




Ada satu tip yang perlu diingat jika Anda berkunjung ke Tanjung Puting : jangan membawa makanan ke dalam kawasan orangutan. Mereka sangat sensitif dengan bau makanan, yang terbungkus plastik sekalipun. Bukan sekali dua kali terjadi ada orangutan yang tiba-tiba sudah berada di dalam kelotok (yang diparkir di pinggir sungai) karena mencium aroma masakan, atau merangkul kaki pengunjung karena membaui ada sesuatu yang bisa dimakan dari kantungnya!





Dalam keadaan seperti itu, tidak perlu cemas tidak perlu panik, berikan saja apa yang mereka mau. Jangan membuat gerakan yang mengejutkan karena mungkin justru akan membuat oangutan semakin beringas.

Bagaimana?
Anda juga tertarik untuk berfoto bersama mereka?

Tanjung Puting, Primadona Kalimantan Tengah






Tanjung Puting, barangkali bukanlah nama yang terlalu asing, meski juga tidak terlalu akrab bagi mereka yang terbiasa tinggal di kota besar. Diresmikan sebagai Taman Nasional sejak 12 Mei 1984, kawasan seluas hampir 415.040 Ha itu dikenal sebagai pusat pelestarian Orangutan (Pongo pygmaeus) yang masuk dalam katagori satwa langka di Indonesia.



Adalah Birute Galdikas – seorang peneliti dari Kanada – yang mempopulerkan kawasan Tanjung Puting sebagai pusat kehidupan primata orangutan pada tahun 1971. Kepopulerannya banyak menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung ke sana. Hampir bisa dikatakan bahwa sebagian besar pengunjung Tanjung Puting adalah turis-turis asing.

Perjalanan menuju taman nasional dimulai dari Pelabuhan Kumai – sekitar 14 km dari Pangkalan Bun. Dari situ kita bisa memilih apakah akan menggunakan speedboat atau perahu kelotok. Speedboat dapat memuat sampai lima penumpang dengan ongkos sewa selama satu hari sebesar 500 ribu dan lama perjalanan sekitar satu setengah jam.
Tapi kalau pesertanya lumayan banyak (di atas 10 orang) lebih baik sewa perahu kelotok saja.

“Pake kelotok lebih enak,” kata petugas di kantor taman nasional. “Lebih santai, jadi bisa menikmati pemandangan di sepanjang kiri kanan jalan.”
Memang betul, karena jika menggunakan kelotok waktu tempuhnya menjadi sekitar empat jam! Meskipun terasa lama dan membosankan, ternyata banyak turis asing yang lebih menyukai pilihan ini, karena mereka bisa menikmati suasana hutan di sepanjang Sungai Sekonyer yang berair kehitam-hitaman itu.



“Pada pagi dan sore hari kita bisa melihat sekumpulan monyet dan kera di pepohonan kiri kanan sungai,” kata Syarifudin yang menjadi pemandu kami. “Kalau beruntung juga bisa ketemu buaya yang lagi berjemur di tepian.”


Biaya sewa kelotok antara 800 ribu sampai satu juta – tergantung kesepakatan. Bisa memuat sampai 15 orang. Sekarang ini pengunjung bisa memlih sistim paket. Misalnya satu juta lima ratus untuk sewa kelotok plus jasa pemandu dan tiket masuk. Ditambah 25 ribu per orang untuk makan siang dan snack sore hari. Jadi pengunjung tinggal terima beres saja. Nyaman kan?
Dan jangan kaget lho, meskipun kelotok, kamar kecilnya pakai kloset duduk! Maklum standar internasional....


Perjalanan dimulai sekitar pukul enam pagi, menyusuri Sungai Kumai yang lebar dan berair kecoklatan. Satu jam kemudian memasuki muara Sungai Sekonyer airnya masih coklat karena pengaruh penambangan emas di atasnya. Satu setengah jam kemudian kita tiba di Pos Tanjung Harapan (sekitar 20 Km dari Kumai) tempat melaporkan diri. Sepuluh kilometer dari Pos Tanjung Harapan ada Camp Tangui tempat rehabilitasi orangutan remaja. Di sini kita bisa singgah untuk melihat acara pemberian makan yang dilakukan antara pukul 09.00 – 10.00 pagi.

Semakin ke atas sungainya semakin kecil, airnya semakin gelap yang merupakan ciri khas kawasan hutan gambut. Tumbuhan nipah, pandan, dan bakung mendominasi sepanjang aliran sungai. Sekitar dua jam kemudian sampailah kita di Camp Leakey yang menjadi pusat riset dan rahabilitasi orangutan dewasa. Di sana terdapat pusat informasi dan arena pemberian makan (feeding site).


Di sanalah – pada tengah hari antara pukul 14.00 – 14.30 – pengunjung duduk dan menyaksikan belasan orangutan turun dari pucuk-pucuk pepohonan untuk menyantap hidangan berupa buah-buahan dan susu yang memang disediakan untuk mereka. Kesempatan ini banyak dimanfaatkan untuk mengambil foto-foto orangutan dalam berbagai polah dan gayanya. Atau, hmmm, Anda tertarik untuk ikut makan bersama? Boleh saja, asal jangan menghabiskan jatah mereka....

Rabu, 10 November 2010

Pangkalan Bun, Pangkalan Bunderan?

Ada yang pernah berkunjung ke Pangkalan Bun?
Bukan mengada-ada, tapi hampir sebagian besar rekan kerja yang untuk pertama kalinya datang ke Pangkalan Bun selalu menanyakan kenapa begitu banyak terdapat bunderan di dalam kota. Hampir setiap perempatan besar selalu dihiasi dengan bunderan di tengah-tengahnya.
“Pantesan namanya Pangkalan Bun,” komentar seorang di antaranya. “Habis di mana-mana ada bunderan sih....”
Sebetulnya tidak ada hubungannya, karena sebutan Bun berasal dari nama pengusaha yang pernah berjaya di tepian Sungai Arut pada masa abad ke-16. Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak bunderan di Pangkalan Bun – baik yang sudah populer maupun yang sedang dalam tahap pembangunan.
Nah, ini beberapa di antaranya :



Bunderan Pancasila

Merupakan bunderan yang paling populer di Pangkalan Bun. Terletak di simpang lima Jalan Malijo – Jalan Pasir Panjang – Jalan HM. Rafii – Jalan Iskandar – Jalan Pemuda. Dinamakan Bunderan Pancasila karena di tengahnya menjulang tugu dengan patung Garuda Pancasila di puncaknya.

Pada sore hari, ke lima trotoar yang mengelilinginya ‘hidup’ dengan kehadiran sejumlah kafe tenda. Mulai dari hidangan utama sampai sekedar makanan ringan tersedia di sana. Mulai dari sate sampai ikan bakar, mulai dari jagung rebus sampai gorengan. Ditambah lagi dengan sudut mainan anak-anak dan asesoris. Rasanya tidak ada warga Pangkalan Bun yang tidak mengenalnya.

Bunderan ini juga merupakan pusat pertemuan warga pada hari-hari besar. Pada malam Tahun Baru rasanya semua warga tumplek blek di situ. Pada malam minggu dan malam senin, kafe-kafenya dipenuhi remaja dan yang mengaku masih remaja. Duduk-duduk sekedar menikmati kentang goreng dan pop ice dengan harga murah meriah.



Bunderan Pangkalan Lima

Terletak di pintu keluar kota menuju Sampit. Lebih besar daripada Bunderan Pancasila tapi kurang populer karena letaknya yang jauh di luar kota. Di tengah bunderan ada tugu yang bisa kita naiki sampai setengah puncaknya. Di bagian luar lantai dasar tugu, terdapat lukisan relief yang menggambarkan perjuangan dan sejarah terbentuknya Kabupaten Kotawaringin Barat.


 
Bunderan Kalpataru

Dibangun di persimpangan Jalan Diponegoro – Jalan Prakusumayudha – Jalan Ciwaringin, sebagai simbol keberhasilan Pangkalan Bun meraih piala Adipura selama empat tahun berturut-turut (tahun 2007 – tahun 2010).




Bunderan Pramuka

Awalnya dinamakan Bunderan Beringin karena di tengah-tengahnya tumbuh pohon beringin. Tapi sejak 2008 beringinnya dibongkar – sesuatu yang amat disayangkan – diganti dengan monumen bertuliskan Praja Muda Karana. Terletak di perempatan Jalan Pramuka – Jalan Bhayangkara – Jalan HM. Rafii – Jalan Ahmad Wongso.




Bunderan Monyet

Populer sebagai Bunderan Monyet meski halaman yang ada di tengah bunderan dihiasi patung orangutan. Letaknya di persimpangan Jalan Pasir Panjang – Jalan Kumai – Jalan Padat Karya – Jalan Raya Kubu. Kehadiran patung orangutan itu seolah merupakan salam selamat datang bagi para pelancong yang akan berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting.


Selain bunderan-bunderan tadi, masih banyak bunderan lain yang menghiasi kota Pangkalan Bun – baik yang sudah berdiri maupun yang sedang dalam tahap pengerjaan. Misalnya Bunderan Jam di pertigaan Korindo yang dihiasi jam besar di tengah-tengahnya. Ada juga Bunderan Imanuel di depan Gereja Imanuel, Bunderan Arut dekat jembatan Sungai Arut sedang dalam tahap pengerjaan, dan Bunderan Jagung (yang puncaknya dihiasi patung jagung) di Pangkalan Lada.

Sebetulnya fenomena bunderan ini juga ditemui hampir di semua kota besar di Kalimantan Tengah. Bagi yang bermukim atau sering berkunjung ke Kalteng pasti akan mengakui kenyataan itu. Tapi bagi yang belum pernah, atau yang baru sesekali saja, mungkin akan percaya bahwa dinamakan Pangkalan Bun karena banyak bunderannya....

Minggu, 31 Oktober 2010

Siapa Memangsa Siapa

Pernah mendengar tentang Hukum Rimba?
Hukum yang berlaku di tengah hutan itu memang diperuntukkan bagi binatang-binatang penghuni rimba. Dalam hukum rimba hanya ada dua pilihan : makan atau dimakan, membunuh atau dibunuh, dan mati atau bertahan hidup.

Dalam satu perjalanan di tengah belantara, saya menemukan pemandangan seperti ini. Seekor bunglon (Bronchocela jubata) dan seekor ular hijau (Gonisoma oxycephala) saling menggigit. Sang bunglon menggigit leher ular, sementara sang ular menggigit kaki bunglon.


Adegan itu saya tinggalkan untuk meneruskan perjalanan. Apalagi selama ditunggui hampir seperempat jam, kedua hewan tadi nyaris tidak bergerak sama sekali. Setengah jam kemudian, saya kembali melewati jalur yang sama, dan pemandangan sudah berubah : sang ular menyantap sang bunglon!


Kemungkinan besar ularnya yang memangsa bunglon lebih dulu. Tapi bunglonnya tidak kalah gesit. Waktu disergap, bunglon sempat berkelit sehingga cuma kena kakinya. Secara refleks, bunglon balas menggigit, tapi hanya kena leher ular karena bagian itulah yang terdekat.
Sementara itu, bisa ular meresap ke badan bunglon. Perlahan tapi pasti, bisa ular menyebar dalam tubuh bunglon. Dan akhirnya, hap, ganti ular memangsa sang bunglon.


Begitulah, kira-kira....

Rabu, 11 Agustus 2010

Berburu Ikan di Papua


Siapa yang bisa mengingkari bahwa pribumi Papua adalah pemburu yang handal?
Mereka bukan hanya trampil mengejar rusa di belantara, tapi juga pencari ikan yang ulung. Perairan laut dan sungai Papua adalah sumber ikan yang tidak ada habisnya.

Adalah kenyataan yang menyenangkan manakala kita dengan mudahnya memperoleh tenggiri sebesar paha hanya dengan melempar pancing tanpa umpan dari atas longboat yang melaju.
“Orang kita bilang ini menonda, Bapa....” kata Markus tertawa sambil menunjukkan kerapu sebesar piring makan yang melahap kailnya – padahal tanpa umpan tanpa apa-apa – hanya sekedar dilepaskan di samping logboat yang kami tumpangi.

Itu belum seberapa.
Markus juga pandai menombak ikan di sela-sela akar bakau. Pada saat air surut, ia sering mengajak saya menombak ikan. “Buat makan malam, Bapa....” katanya.
Maka kami menggunakan sampan kecil menyusuri pesisir yang saat itu sedang surut. Ketinggian air hanya sebatas betis. Saya mengayuh sampan, Markus berdiri dengan tombak kecil siap di tangan. Setiap kali tombaknya dilemparkan, hampir selalu ada ikan atau mahluk air lain yang tertancap di ujungnya. Yang paling sering dapat kerapu sebesar telapak tangan. Kadang-kadang dapat gurita, udang karang, sotong (semacam cumi-cumi), atau ikan-ikan kecil lainnya. Kalau memasuki muara sungai bahkan sering mendapat kepiting bakau!
 

Kadang-kadang, beberapa warga datang ke muara sungai saat surut untuk mencari ikan menggunakan tuba dari semacam akar yang perasan airnya bisa membuat ikan-ikan mabuk. Mereka datang berombongan Рkadang satu keluarga besar Рmembentuk pagar betis di mulut sungai. Akar tuba ditumbuk di atas akar bakau, kemudian dicampurkan ke dalam aliran air. Ritual ini ditingkahi dengan teriakan-teriakan yang terdengar seperti Ker̩̩̩̩̩!.... Ker̩̩̩̩!... Ker̩̩̩̩!.... yang dimaksudkan untuk memanggil ikan agar mendekat.
Pria dewasa berjalan hilir mudik menyebarkan perasan akar tuba sambil kakinya mengubek-ubek air sungai sehingga menjadi keruh. Yang lebih muda bersiap dengan tombak di tangan. Ikan yang mabuk akan terlihat muncul di permukaan. Saat itulah tombak-tombak dilemparkan.

Hasilnya seringkali mengejutkan. Bisa sampai sekarung ikan berbagai rupa ditambah sotong dan kepiting. Bukan hanya sekedar cukup untuk makan malam, tapi juga bisa disimpan untuk persediaan beberapa hari kemudian!

Black And White



Saya suka foto ini.

Foto yang diambil di pesisir Pantai Danaruma – sekitar satu jam perjalanan longboat ke arah barat Distrik Kokas – ini membuktikan bahwa saya tidaklah sehitam yang saya kira. Selama ini saya sering risau dengan warna kulit yang semakin gelap. Itulah sebabnya sejak beberapa tahun terakhir akrab dengan krim pemutih yang menurut iklannya di tivi dapat memberikan efek lebih putih dalam beberapa minggu.

Pada saat bertugas di Fakfak, rasa risih itu berkurang. Karena ternyata masih banyak yang kulitnya lebih gelap dan lebih hitam daripada saya! Hampir sebagian besar pekerja – yang didominasi warga setempat – memang memiliki kulit hitam, tipikal warna kulit masyarakat Papua.

Markus (28 tahun) yang duduk di sebelah kanan, pemuda asli Kaimana, barangkali menjadi pembanding yang tepat. Badannya yang hitam kekar merupakan tipikal rata-rata warga setempat. Sering saya berseloroh padanya, “Markus, kalau jalan malam-malam jangan lupa tertawa ya!....”
“Kenapa, Bapak?” sahut Markus polos.
“Supaya orang tidak tabrak kamu, karena bisa lihat gigimu....”
Markus hanya tertawa keras. Dan gigi putihnya terlihat sempurna. Kalau saja Markus berjalan di malam hari tanpa memperlihatkan giginya, saya kuatir akan ada yang menabraknya. Apalagi Markus punya kebiasaan bertelanjang dada kemana-mana.

Di sebelah kiri berdiri Bilal Heremba (25 tahun), warga asli Distrik Kokas yang lebih sering menyebut namanya menjadi ‘Billy’, memiliki kulit tidak sehitam Markus. Tidak jelas kenapa kulit Billy tidak hitam legam seperti Markus. Tapi kemungkinan karena Markus asli penduduk pedalaman, sementara Billy tinggal di pesisir yang tingkat pembaurannya lebih tinggi. Hampir sebagian besar perkampungan di pesisir Papua banyak disinggahi pendatang dari Sulawesi dan Jawa, sehingga kemungkinan kawin campur selalu ada.

Saya suka foto ini.
Karena menggambarkan pembauran. Menggambarkan tidak adanya perbedaan suku dan warna kulit. Semua sama, semua punya hak yang sama untuk bergaul, bekerja, dan berkumpul. Tidak peduli saya yang dari Jawa, tidak peduli Markus yang dari Kaimana. Tidak peduli Billy yang coklat matang, tidak peduli Markus yang hitam legam. Tidak peduli Markus yang lebih menikmati rokoknya, Billy yang tersenyum ke arah kamera, dan saya mengamati kulit tangan yang rasanya semakin lama semakin menghitam sambil bergumam, “Padahal saya sudah pake Ponds tiap hari....”


Ponds, merek kosmetik yang katanya bisa memutihkan kulit dalam hitungan minggu....

Selasa, 06 Juli 2010

Air Bersih dari Ubadari

Air bersih tentulah perlu, dan itu kadang menjadi masalah di pedalaman Papua. Kondisi tanahnya yang dipenuhi bebatuan kadang menjadikan air bersih sebagai barang berharga. Tidak semua distrik (sebutan untuk kecamatan kalau di Pulau Jawa) memiliki sumber air yang memadai.

Pada saat kami membangun base camp di pesisir Danaruma – sekitar satu jam perjalanan longboat ke arah barat Distrik Kokas – air tawar ternyata sulit diperoleh. Sungai-sungai di sekitar situ hanya menyisakan sedikit air bekas musim hujan di ceruk-ceruknya. Itu pun kadang berada cukup jauh dari pondok kerja. Untuk mencapai ke sana kita harus melewati dua buah bukit. Alhasil, sekembalinya dari sana badan sudah berkeringat lagi.

“Biasa begitu, Bapa,” kata Upang memberitahu. “Kalau musim hujan tidak masalah, tapi kalau kemarau kita susah cari air.”

Untunglah sekitar satu jam perjalanan longboat ke arah timur Distrik Kokas, ada sebuah desa bernama Ubadari yang dilewati sungai berbatu dengan air tawar mengalir tanpa henti. Setiap pagi, longboat diberangkatkan ke sana membawa sekitar dua puluh drum yang sudah dilubangi bagian atasnya. Setelah drum-drum diisi penuh, longboat kembali ke Base Camp Danaruma.

Sebagian besar air itu untuk keperluan memasak dan mandi sore hari. Pada pagi hari hanya disediakan satu ember ukuran sedang – cukuplah untuk sekedar mencuci muka dan bersih-bersih. Untuk urusan lain memakai air laut yang melimpah di tepi pondok. Sebagian besar pekerja pribumi bahkan nampak biasa saja mandi dengan cara berendam di air laut.

Perlakuan khusus diberikan setiap hari jum’at. Pada hari itu kami sama-sama pergi ke Desa Ubadari, membawa perlengkapan mandi dan pakaian kotor. Puas-puaslah kami bermain air, mandi, berendam, dan mencuci semua pakaian yang dibawa. Setelah dijemur di sekitar sungai, kami beristirahat di rumah-rumah penduduk sambil menunggu saat sholat Jum’at.

Menjelang ashar kembali ke Danaruma, membawa segenap pakaian kering dan badan segar. Itu kalau memang sorenya tidak turun hujan.
Kalau ternyata hujan?
Ya tetap kembali ke Danaruma. Acara menjemur pakaian dilanjutkan di sana....

 

Jumat, 18 Juni 2010

Sepotong Senja di Pantai Fakfak


Fakfak hanyalah sebuah kota kecil di paruh burung Papua. Sebagai kota pantai dengan luas tak lebih dari enam kilometer persegi, Fakfak memang tidak menjanjikan banyak hal. Secara tidak resmi wilayahnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu kawasan kota yang berada di pinggir pantai, dan kawasan puncak yang berada di perbukitan. Angkutan kotanya – yang di sana disebut taksi – bisa dikatakan memiliki trayek fleksibel. Meskipun dari Terminal Tambaruni ada taksi berwarna kuning jurusan puncak dan ada taksi merah jurusan kota, tetap saja kita bisa memilih keduanya untuk berjalan-jalan menikmati keindahan Fakfak.

Kawasan puncak merupakan kawasan berbukit-bukit dengan jalan aspal meliuk-liuk di antaranya. Dari ketinggian kita bisa menikmati hamparan luas Laut Arafura di bawah sana. Lautnya membiru saat cuaca cerah dengan hiasan beberapa kapal berlabuh di pelabuhan. Pulau Panjang yang memanjang persis di depan kota seolah merupakan benteng alam dari bahaya ombak besar. Perahu-perahu nelayan dan longboat – perahu cepat berbentuk panjang seperti pisang – hilir mudik melengkapi suasana.


Untuk menambah daratan agar bisa menampung perkembangan kota, pemerintah daerah membangun Jalan Reklamasi yang menghubungkan Pasar Tambaruni dan Jalan Itzak Tellusa. Tepat di hadapan Jalan Reklamasi, pemandangan laut membentang sepanjang mata. Di sepanjang Jalan Reklamasi terdapat tembok pembatas tempat orang-orang duduk-duduk atau memancing sambil menikmati udara sore.



Jangan lewatkan keindahan sunset yang muncul menjelang senja!
Paduan warna warni matahari sore bakal memuaskan dahaga mata kita. Jangan juga terburu-buru pulang selepas senja. Warung-warung ikan bakar yang berjejer di sepanjang jalan Reklamasi mulai menggelar jualannya. Dengan hanya 25 ribu Rupiah, kita sudah bisa menikmati kakap merah atau kerapu panggang plus lalapan, sambil ditemani sejuknya semilir angin laut. Murah dan mengenyangkan!

 

Rabu, 16 Juni 2010

Dibelah Hidup-Hidup


Persoalan utama yang dihadapi pekerja di hutan adalah menu sehari-hari. Rasanya bosan banget kalau tiap hari yang disajikan cuma indomie rebus, ikan asin bakar, atau sambal sarden. Karena itu perlu dicari menu alternatif untuk menghindari rasa bosan.
Kalau lokasi kerjanya dekat kampung (di sana jarak dua atau tiga kilometer dianggap dekat) kita bisa minta daun singkong atau membeli ayam. Tapi kalau pun letak kampung terlalu jauh, itu juga bukan persoalan karena anggota survey biasanya adalah pemburu yang handal.

Mereka terampil menyelam untuk menombak ikan atau memasang jerat. Mereka juga tahu sungai mana yang banyak ikannya dan jalur mana yang sering dilintasi hewan buruan. Masalahnya kemudian, bagi Orang Dayak semua hewan bisa dimakan. Tak ada istilah haram atau halal, apalagi makruh. Kalau dapat kijang atau burung kuau, tanpa ragu kami para perantau dari Jawa ikut memakannya. Tapi kalau dapat trenggiling atau burung yang aneh-aneh wujudnya, apa boleh buat, kami memilih indomie saja.

Binatang buruan yang jadi favorit adalah kura-kura, labi-labi, dan baning. Ketiganya hampir sejenis. Sama-sama keluarga kura-kura yang membawa-bawa tempurung di punggungnya. Hanya saja kalau labi-labi adalah amphibi yang hidup di dua alam, kura-kura dan baning hidup di darat. Labi-labi bentuknya seperti bulus, tempurungnya lebar menyerupai penggorengan dengan warna kusam abu-abu. Tempurung kura-kura dan baning (Tetsuda emys) lebih menggelembung menyerupai helm tentara. Bedanya lagi, tempurung baning punya corak lebih indah.

 
Enaknya itu mereka gampang ditangkap. Kalau sudah kelihatan merayap di lantai hutan, tinggal diangkat dan dibawa pulang ke tenda. Labi-labi bisa bergerak cepat – lebih-lebih kalau sedang berada di dalam air – dan memiliki daging kenyal-kenyal empuk. Sementara daging baning berwarna merah seperti daging kerbau. Labi-labi – seperti halnya katak – masih bisa dipertanyakan halal atau makruhnya. Tapi kalau baning jelas-jelas halal karena hidup di darat dan hanya memakan kulit kayu dan jamur. Dagingnya pun enak.

Yang tidak enak adalah cara menyembelihnya. Baning atau kura-kura atau labi-labi selalu dibantai hidup-hidup! Tempurungnya dibelah berkeliling dari samping kemudian dibuka seperti orang membuka kulit durian. Pada saat itu kempat kakinya masih bergerak-gerak.Adegan itulah yang sering membuat miris. Tapi kata mereka itu cara paling cepat dan praktis.
“Kalau mau disembelih, di mana motongnya, Om? Lehernya keluar masuk terus, susah megangnya....”



Liburnya Kalau Hujan

Kegiatan operasional di areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sangat dipengaruhi cuaca. Hampir semua sektor pekerjaan tidak bisa terlaksana dengan baik kalau cuaca buruk. Penebang dilarang menebang pohon saat angin kencang dan hujan deras. Arah rebah bisa berubah dan itu mengancam keselamatan mereka.
Operator traktor atau bulldozer sulit menarik log atau kayu hasil penebangan kalau jalan angkutan berlumpur bekas hujan. Demikian juga supir logging truck, sangat tidak nyaman jika harus terseok-seok membawa puluhan kubik kayu dengan berat puluhan ton di atas jalan licin.


Itu sebabnya cuaca cerah menjadi satu-satunya harapan untuk mengenjot produksi. Pada musim kemarau, mereka akan memanfaatkan panas matahari dengan sebaik-sebaiknya untuk menebang dan mengeluarkan log ke tempat penumpukan. Operator chainsaw dan traktor bisa bekerja sampai sore hari.
Hilir mudik kendaraan memindahkan log dari tempat penimbunan kayu (biasa disebut TPn) menuju logyard atau logppond bisa berlangsung sampai tengah malam. Dengan catatan: kalau hari terang. Sebab sebagian besar jalan angkutan menuju ke blok-blok penebangan memang hanya berupa jalan tanah saja, sehingga kalau turun hujan praktis tidak bisa digunakan. Kalau hujannya sehari penuh, bisa-bisa besoknya dua hari berturut-turut tidak ada kegiatan pengangkutan.
Itu sebabnya di sepanjang jalan angkutan, duapuluh meter kiri kanannya wajib dibersihkan dari pohon dan semak belukar. Kegiatan yang disebut tumbang bayang ini bertujuan untuk membebaskan permukaan jalan dari bayang-bayang pohon. Maksudnya agar sinar matahari bisa leluasa menyinari jalan sehingga jalan cepat kering setelah turun hujan.
Lantas kalau hujannya sampai berhari-hari, bagaimana?
“O, itu berarti libur nasional!” kata supir truk sambil tertawa. Sepanjang hujan turun mereka bisa dikatakan libur total. Hari-hari diisi dengan main kartu, ngobrol, atau nonton tivi. Meskipun kelihatannya menyenangkan, mereka resah juga kalau hujannya tak kunjung berhenti. Soalnya gaji mereka dihitung dari kubikasi log yang diangkut tiap bulannya. Semakin besar kubikasinya berarti semakin tinggi penghasilannya.
Tidak heran kalau pada hari minggu mereka tetap bekerja untuk mengejar hasil sebanyak mungkin. Tanggal merah pun seringkali dianggap tidak ada. Hari libur resmi mereka dalam setahun hanya empat kali, yaitu pada saat Tahun baru, Tujuh Belas Agustus, Natal, dan Idul Fitri. Hari libur selebihnya ya pada saat turun hujan tadi.

Selasa, 15 Juni 2010

Dari Lintah sampai Kutu Monyet

Camp tarik merupakan perumahan pekerja yang berada di ujung jalan angkutan. Tapi bukan berarti yang paling ujung. Jauh di dalam hutan, ada kelompok pekerja yang disebut regu survey. Mereka tidak dibuatkan rumah – baik permanen maupun semi permanen – tapi diberi terpal untuk tenda. Tempat kerjanya di tengah hutan sehingga mirip orang kemping.
Satu regu survey terdiri dari sepuluh sampai duabelas orang. Tugasnya membuat batas areal penebangan dan mendata potensi kayu yang ada. Sekali masuk hutan mereka langsung membawa perlengkapan dan bekal makanan selama sebulan. Diantar sampai ujung jalan, selebihnya jalan kaki.
Kalau lokasi surveynya cuma beberapa kilometer, jalan kakinya cuma setengah hari. Tapi saya pernah mengalami lokasi survey sampai duapuluh kilometer. Wah, untuk melangsir perbekalan saja butuh lima hari. Untungnya anggota regu survey diambil dari masyarakat setempat yang sudah tidak asing dengan suasana hutan. Mereka bahkan sanggup mengangkut beban lebih dari 30 kg dengan kecepatan normal, tanpa alas kaki lagi!
Di lokasi survey, yang pertama kali dilakukan adalah mendirikan tenda. Beruntung kalau ketemu sungai besar, karena nantinya bisa memancing ikan untuk variasi menu makanan sehari-hari. Soalnya bekal yang disediakan perusahaan biasanya cuma indomie, sarden, dan ikan asin.
Kalau sungainya kecil sebetulnya tidak masalah karena airnya malah lebih bersih, mirip air mineral kemasan. Cuma untuk mencari ikan harus pergi agak jauh. Tapi itu juga tidak masalah karena kita bisa memasang perangkap di sekeliling tenda. Lumayan kalau dapat kancil, burung kuau, atau bahkan kijang!

Yang jadi masalah justru serangga pengganggu yang seperti tidak ada habisnya. Dalam perjalanan ke tengah belantara, lintah-lintah kecil yang disebut pacet sudah menunggu di ujung-ujung dedaunan. Waktu menempel di kaki seringkali tidak terasa. Begitu kembali ke tenda dan mengganti celana panjang, baru ketahuan darah mengucur di betis atau paha.

 

Nyamuk mungkin sudah tidak asing lagi karena di kota juga banyak. Tapi agas – serangga lembut sebesar butiran pasir – sangat mengganggu karena menimbulkan gatal di kulit. Ada yang menyarankan untuk merokok untuk menghindari serangan agas. Tapi kalau agasnya datang tanpa henti apa iya kita juga harus merokok terus-terusan?
“Nggak kena agas tapi nanti malah kena TBC,” komentar saya.

Ada lagi yang namanya pitak. Ini bukan luka kecil di kepala melainkan nama sejenis lalat besar yang memiliki jarum di ujung mulutnya. Kalau sudah menggigit, sakitnya minta ampun. Menepuknya juga sulit karena mata facetnya bisa melihat ke segala arah.

Paling menjengkelkan dari semua tadi adalah kutu monyet. Serangga sejenis kutu ayam (gurem – kata orang Jawa) ini suka bersembunyi di antara ranting dan dedaunan kering. Begitu terinjak, puluhan dari mereka serentak menyerang kaki. Gatalnya minta ampun. Kalau digaruk malah tambah perih.
Kalau sudah kena serangan kutu monyet, kaki harus segera dibasuh dengan minyak tanah. (Tapi sialnya tidak selalu tersedia minyak tanah – untuk bahan bakar perusahaan menggunakan solar). Pakaian yang terkena pun sebaiknya dibakar saja, atau direndam air panas – kalau masih bagus. Kemudian kutunya dicari satu-satu – sebab biasanya mereka masih menempel di pori-pori – lalu diangkat dengan benda tajam semacam silet atau pisau cutter.
Dua hari kemudian pada bekas gigitan kutu monyet akan muncul bintik-bintik berisi cairan kuning seperti nanah. Setelah pecah biasanya timbul bercak-bercak hitam. Tapi tak usah kuatir, bercak hitam itu akan hilang seiring dengan waktu.
Seorang teman bercerita bahwa diserang kutu monyet itu bukan sakitnya yang jadi masalah, tapi malunya itu.
“Masak kutu-kutu itu tidak bisa membedakan kita dengan monyet!...”
 

Rumahnya Ditarik-tarik

Pernah mendengar istilah camp tarik?
Dalam struktur perusahaan HPH – khususnya di lapangan – base camp merupakan pusat kegiatan. Di base camp terdapat kantor, bengkel, kantin, gudang, perumahan karyawan, dan sarana-sarana penting lainnya.
Jauh di dalam hutan, ada lagi rumah-rumah pekerja yang disebut camp tarik. Di situ biasanya tinggal kelompok pekerja yang berhubungan langsung dengan pemungutan hasil hutan. Mulai dari operator chainsaw – gergaji mesin – yang bertugas menebang pohon, kemudian operator buldoser yang bertugas menarik potongan-potongan log ke tempat pengumpulan, dan tukang kupas yang kerjanya mengupas kulit kayu. Masing-masing dibantu satu atau dua orang helper.
Karena lokasi penebangan berpindah-pindah, maka rumah mereka tidak dibuat permanen seperti di base camp. Rumahnya dibangun di atas dua potong log sejajar, sehingga kalau lokasi penebangan pindah, rumahnya tinggal ditarik menggunakan buldoser. Itu sebabnya disebut camp tarik.


Sistim menariknya sama seperti kalau menarik mobil yang mogok. Rumah diikat pada beberapa titik yang strategis, kemudian buldoser menariknya ke tempat operasional yang baru. Karena jaraknya sampai belasan kilometer, melewati kondisi jalan yang naik turun tidak menentu, tidaklah mengherankan kalau siku-siku rumah jadi bergeser. Semakin sering berpindah tempat, semakin sering ditarik-tarik, kondisi rumah akan semakin goyah. Belum lagi perabotan – yang biasanya dibiarkan tetap dalam rumah – yang berjatuhan saat ditarik. Belum lagi kalau empunya rumah memelihara ayam di bagian belakang – yang biasanya ditempelkan begitu saja – dan ada ayam yang sedang mengeram, wah, bisa berantakan telurnya.
Karena cara tersebut seringkali memperpendek umur rumah, dan merusak jalan yang dilewati, belakangan digunakan cara baru : camp tumpang. Artinya camp ditumpangkan ke atas logging truk yang biasanya memuat kayu gelondongan.
Kebayang enggak cara menaikkannya?
Camp dipindahkan dulu ke tempat yang posisinya lebih tinggi dari jalan. Kemudian pantat logging truck didekatkan ke tebing dekat rumah, lantas camp didorong oleh buldoser persis ke punggung truck.
Tapi meskipun sistimnya tidak lagi ditarik, tempat tinggal yang berada di ujung jalan angkutan itu tetap saja populer disebut sebagai camp tarik....
 

Selasa, 18 Mei 2010

Nonton Kapal sebagai Hiburan


Kalau saja Anda saat ini berada di Fakfak – sebuah kota kecil di paruh burung Papua – dan ingin berjalan-jalan, kemudian bertanya kepada warga setempat, kemungkinan besar Anda akan disarankan pergi ke kota.
Tapi jangan membayangkan kota tersebut seperti kawasan Kota di Jakarta yang sarat dengan mall dan tempat hiburan. Kota di Fakfak tak lebih hanya sebutan untuk sepenggal jalan sepanjang sekitar dua kilometer bernama Jalan Itzak Tellusa. Jalan tersebut menghubungkan Pelabuhan Fakfak dengan satu-satunya tempat keramaian di kota tersebut.
Di Jalan Itzak Tellusa itulah kita bisa menemukan jejeran toko yang menjual kebutuhan sehari-hari. Mulai dari perlengkapan rumah tangga, pakaian, tempat makan, atau wartel.
Meskipun banyak toko, belum tentu apa yang kita cari – yang kalau di Jakarta sudah pasti ada – dapat dengan segera kita temukan di sana. Majalah dan koran yang dijual biasanya terbitan dua minggu sebelumnya. Snack dan produk kecantikan yang iklannya sering muncul di tivi, belum tentu tersedia.
Kawasan pertokoan di kota biasanya mulai buka pukul sembilan pagi. Jangan berpikir soal kedai kopi tempat duduk-duduk menikmati sarapan sambil melihat lalu lalang orang atau kendaraan, karena memang tidak ada. Juga jangan kaget kalau pukul dua siang semua toko menutup pintunya. Mereka baru akan buka kembali pukul lima sore. Kemudian buka lagi sampai sekitar pukul sembilan atau sepuluh malam.
Begitu pertokoan tutup, jalanan yang semula ramai mendadak kosong. Kalau keramaian masih ada sampai lewat pukul sebelas, aha, berarti ada Kapal Pelni yang akan sandar di Pelabuhan Fakfak.
Kedatangan Kapal Pelni – yang oleh warga biasa disebut Kapal Putih – merupakan satu hiburan tersendiri. Dengan jadwal kedatangan yang rutin, mereka hapal kapal apa yang akan sandar minggu ini. Apakah KM Bukit Siguntang, KM Dorolonda, atau KM Ciremai. Mereka juga tahu persis apakah kapalnya datang dari Kaimana atau justru akan berangkat ke Sorong.
Selain pesawat udara, kapal laut merupakan alternatif warga Fakfak dalam berhubungan dengan tempat lain. Dari Pelabuhan Fakfak secara reguler diberangkatkan kapal laut melayani trayek Fakfak-Sorong-Biak-Serui-Jayapura dan trayek Fakfak-Kaimana-Timika-Merauke. Untuk ke luar Papua ada trayek Fakfak-Banda-Ambon-Makasar-Surabaya-Jakarta. Ada juga yang melintasi jalur selatan melalui Kupang atau Maumere.
Warga berdatangan ke pelabuhan bukan hanya untuk menjemput famili atau keluarga yang mungkin berkunjung. Mereka menyambut kedatangan kapal putih seperti menyambut pasar malam. Biasanya kapal merapat antara dua sampai tiga jam. Selama masa sandar itu, warga bisa naik ke atas kapal untuk berbelanja pakaian, kebutuhan rumah tangga, alat elektronik, atau sekedar menikmati ayam goreng khas Amerika.
Harga barang yang dijual di kapal umumnya lebih murah daripada yang dijual di daratan. Apalagi kalau kapal akan kembali ke Makassar atau Surabaya. Kabarnya pedagang di kapal memilih melepas barang dengan keuntungan tipis daripada membawa balik ke Jawa, sebab di Surabaya nanti mereka akan berbelanja lagi.
Warga pedesaan pun memanfaatkan kehadiran kapal untuk menjual hasil bumi mereka. Maka tidaklah heran jika beberapa penduduk asli memanfaatkan masa sandar kapal dengan berkeliling menawarkan buah merah, buah durian, ikan panggang, atau manisan pala.

Berburu Rusa di Papua



Langit belum lagi gelap ketika sebuah longboat mendarat di pesisir pantai utara Distrik Kokas. Beberapa orang bertubuh hitam tegap berloncatan turun, diikuti oleh dua ekor anjing yang nampaknya sudah terbiasa berburu. Seorang di antara laki-laki hitam tegap tadi tampak menyandang senapan laras panjang.
Ini adalah pemandangan yang biasa di pesisir Papua – khususnya di perkampungan terpencil di tepi pantai. Distrik Kokas – kalau di Jawa identik dengan kecamatan – termasuk salah satu distrik di Kabupaten Fakfak yang dikelilingi oleh lautan dan dibatasi hutan alam. Orang-orang di longboat tadi bukan aparat keamanan, bukan tim pemberantasan illegal logging, mereka cuma sekelompok masyarakat yang bermaksud berburu rusa.
Kenapa rusa?
Karena jenis binatang itulah yang banyak ditemukan di hutan-hutan setempat. Dengan bermodalkan senapan laras panjang jenis Mauser – yang biasanya dipinjam dari petugas Koramil – plus beberapa butir peluru, sudah cukup untuk mendapatkan dua atau tiga ekor rusa.
“Apalagi kalau kita puanjing su biasa berburu, bisa dapat lebih banyak lagi,” kata Dahlin Iha sambil membubuhkan tip-eks pada ujung laras.
Anjing berguna untuk menggiring rusa setelah kena tembak. Lalu tip-eks tadi? Untuk menandai ujung laras supaya bidikan bisa tepat. “Kalau sumalam biasanya gelap jadi susah kalau tidak pakai tip-eks,” kata Dahlin lagi.


Sumber Daging
Satu-satunya pemangsa rusa di paruh burung Papua adalah Rusa (Cervus timorensis) merupakan salah satu mamalia yang banyak berkeliaran di hutan-hutan Papua. Selain rusa, mamalia yang banyak ditemukan adalah Babi Hutan (Sus Vitatus) dan kelompok marsupial atau hewan berkantung.
Seorang peneliti bernama Ronald G. Petocz, dalam bukunya Konsevasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya (1987) menyebutkan bahwa rusa bukanlah satwa asli Papua, melainkan satwa yang dimasukkan dari luar. Kemungkinan besar masuk dari Kepulauan Maluku karena ada jenis rusa yang dinamakan Cervus timorensis moluccensis.
Yang jelas, bisa dikatakan rusa adalah satu-satunya mamalia besar di Papua. Mamalia yang lebih besar, yang bersifat predator (pemangsa) bagi rusa bisa dikatakan tidak ada!
Ini yang membedakan rusa Papua dibandingkan rusa di kawasan lain. Di Sumatera atau Kalimantan, rusa menjadi binatang buruan bagi harimau (Panthera tigris), macan tutul (Panthera pardus), atau ular sanca (Phyton reticulatus). Itulah sebabnya mengapa rusa begitu banyak ditemukan di hutan-hutan Irian Jaya Barat.
manusia. Bagi masyarakat kampung, rusa merupakan salah satu sumber daging bagi kebutuhan sehari-hari. Apabila mereka membutuhkan daging dalam jumlah besar, misalnya untuk hajatan perkawinan, daging rusa menjadi pilihan yang mungkin.
Harganya termasuk murah. Pada saat di Fakfak harga daging sapi mencapai 45 ribu per kilo, daging rusa dijual hanya seharga 17 ribu per kilogramnya.


Tanduknya pun Laku
Perburuan biasanya dilakukan menjelang tengah malam. Satu tim umumnya terdiri dari satu penembak, minimal dua pembantu, dan seekor anjing. Senter merupakan salah satu alat bantu yang penting.
Kehadiran rusa diketahui dari tingkah anjing yang berubah. Posisi berdiri rusa bisa diketahui dari cahaya matanya yang menyolok di tengah malam. Pada saat disorot dengan senter, seekor rusa biasanya malah berdiri terpaku sehingga penembak makin mudah membidikkan senapannya.
Suara senapan yang membelah malam merupakan tanda sudah terjadinya ‘pembantaian’. Kalau rusanya tidak langsung rubuh, anjing berfungsi untuk mengejar atau menggiring ke arah pantai.
Pagi hari perburuan selesai. Rusa hasil buruan, kalau kondisinya tidak memungkinan dibawa hidup-hidup, biasanya langsung disembelih di tempat. Kalau lokasi perburuan jauh dari pantai, daging biasanya dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Isi perut ditinggal begitu saja di tengah hutan.
Kadang-kadang, selain mendapat rusa dewasa, pemburu juga acapkali mendapatkan anak rusa yang bisa sekalian ditangkap. Anak rusa tadi bisa dipelihara sampai menjadi rusa dewasa, seperti layaknya memelihara kambing.
Sesampainya di kecamatan, daging rusa dijual eceran kepada penduduk yang berminat. Atau bisa juga dijual borongan. Untuk rusa ukuran sedang – dengan berat daging sekitar 20 atau 25 kilo – dihargai tiga ratus ribu Rupiah.
Kalau rusanya jantan dewasa, selain daging masih ada hasil ikutannya yang berharga, yaitu kepala dan tanduk. Kepala dan tanduk rusa bercabang minimal enam, biasanya dioffset menjadi hiasan dinding. Untuk hasil pengoffsetan yang sempurna, harganya bisa mencapai lima ratus ribu Rupiah.

Kamis, 13 Mei 2010

Baku Tunggu di Fakfak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu arti kata baku adalah saling atau menunjukkan kegiatan yang berbalasan. Padanan yang sering disandingkan dengan kata baku biasanya adalah baku hantam yang artinya saling berhantam. Tapi sewaktu saya bekerja di Fakfak – salah satu kabupaten di paruh burung Papua – penggunaan kata baku ternyata meluas kemana-mana.
Pada suatu hari saya terpaksa berangkat sendirian ke tempat kerja karena teman yang ditunggu-tunggu tidak muncul. Siangnya saat jumpa di tempat kerja baru ketahuan penyebabnya: kami saling menunggu di tempat berbeda. Saya menunggu di hotel sementara teman tadi menunggu di terminal. Sambil tertawa-tawa teman tadi yang asli Fakfak berkata, “Wah, kita tadi baku tunggu rupanya!”
Artinya kami ternyata saling menunggu sehingga tidak bertemu.

Di akhir bulan, bagian keuangan perusahaan tempat saya bekerja kesulitan membayarkan gaji karena tidak ada uang kecil. Pekerja yang satu kurang 20 ribu, sementara pekerja yang satu lagi gajinya kurang 30 ribu. Akhirnya akuntan kami memanggil keduanya, menyerahkan selembar 50 ribuan kepada seorang diantaranya sambil berkata, “Nih, kalian punya gaji ada lebih di sini. Sama kamu ada dua puluh, sama kau ada tigapuluh. Saya tak ada uang kecil, jadi ini limapuluh kalian baku bagi ya?”
Artinya kedua pekerja itu diminta membagi sendiri pecahan 50 ribu supaya sisa gajinya bisa terbayarkan.
Alhasil di sana kata baku menjadi begitu beragam padanannya. Misalnya baku pukul, baku atur, baku angkat, baku ganti, atau baku pinjam. Semuanya untuk menunjukkan kegiatan yang saling berbalasan.
Pada kesempatan lain saya dikejutkan sewaktu salah seorang pekerja berkata, “Kita kasih bunuh mesin-kah, Bapak?”
Saya kaget karena mengira ada yang baku bunuh di antara pekerja. Rupanya pekerja tadi cuma ingin menanyakan apakah mesin generatornya sudah bisa dimatikan atau belum. Barangkali karena melihat saya sudah tidak menggunakan komputer lagi.
Setelah tahu bahwa membunuh ternyata juga dipakai untuk mematikan mesin, maka besok-besoknya saya dengan enteng berkata, “Saya tak pakai komputer lagi, kasih bunuh saja mesinnya!”
Rupanya pekerja yang saya suruh bukan dari bagian genset dan tidak tahu cara mematikan mesin sehingga balik bertanya, “Bagaimana cara bunuhnya, Bapak?”
“Pukuli saja sampai mati,” jawab saya sambil tertawa.

 

Buahnya Gratis

Saat paling menyenangkan jika bekerja dekat perkampungan adalah saat musim buah-buahan. Begitu juga sewaktu saya bertugas di pedalaman Kabupaten Mandailing Natal – Sumatera Utara. Masyarakat di sana banyak yang memiliki kebun buah-buahan. Mulai dari kebun durian, rambutan, jeruk manis, kueni, atau langsat – semacam duku tapi rasanya agak masam.
Karena transportasi ke pasar sangat jauh dan ongkosnya mahal, mereka lebih suka menjual di desa sendiri. Karena itu harganya juga murah. Apalagi kalau kita mau datang langsung ke kebun mereka.
Memang melelahkan, karena kebun mereka biasanya berada di balik bukit. Untuk mencapainya bisa memerlukan setengah sampai satu jam perjalanan. Yang menarik dari transaksi di kebun adalah: kita boleh mencicipi sepuas-sepuasnya.
Sambil beramah-tamah dengan pemilik kebun, kita bisa duduk-duduk sambil menikmati durian atau kueni atau rambutan yang baru dipetik dari tangkainya. Dan untuk semua itu kita tidak perlu membayar. Yang perlu dibayar hanyalah buah-buahan yang kita bawa pulang.
“Wah, enak dong. Kita cicipi sepuasnya, belinya cukup satu dua.”
Memang enak. Tapi rasanya risih juga kalau hanya beli sedikit. Maka biasanya masing-masing membawa seberapa sanggupnya. Kalau durian ya segandeng seorang. Kalau kueni masing-masing sekantong plastik.
Kalau semuanya tidak sanggup membawa karena kekenyangan?
Tidak usah kuatir, pemilik kebun bersedia membawakan sampai kampung. Dan untuk ukuran mereka sekarung durian atau sekarung langsat belum apa-apa. Maka pulanglah kami dengan oleh-oleh sekarung buah-buahan.
Sudah harganya murah, kenyang mencicipi, dibawakan lagi!

 

Nasionalis Sejati

Di desa-desa terpencil, televisi menjadi satu-satunya hiburan, meskipun untuk dapat menangkap siarannya memerlukan antena parabola. Begitu juga yang saya alami sewaktu bertugas di pedalaman Kabupaten Mandailing Natal pada awal-awal 1990an. Saat itu sedang ramai-ramainya stasiun tivi swasta menayangkan film-film Asia, khususnya India dan Hongkong, yang menjadi acara favorit penduduk di sana.
Kalau sudah ada pemutaran flm-film India, rumah-rumah atau kedai yang dilengkapi pesawat tivi bakalan penuh sesak oleh penonton. Hebatnya lagi, mereka menyukai film-film yang sudah di-dubbing ke dalam Bahasa Indonesia. Kalau ada film yang tidak di-dubbing – tetap dalam bahasa aslinya tetapi disertai teks terjemahan – mereka bisa menggerutu panjang lebar.
Bukan main, kagum saya dalam hati, begitu nasionalisnya mereka terhadap Bahasa Indonesia!
Pada saat saudara se-tanah air di kota-kota lain begitu bangga dengan istilah-istilah yang berbau bahasa asing, mereka tetap konsisten mencintai bahasa nasional mereka.
Belakangan saya tahu bahwa mereka menyukai film-film dubbing karena bisa segera tahu jalan ceritanya. Tidak perlu repot-repot membaca teks terjemahannya. Sebab sebagian besar penduduk memang tidak lancar membaca. Bahkan banyak di antaranya yang masih buta huruf!

 

Lima Ribu Komplit

Setiap kali saya berkunjung ke Kota Padangsidempuan, biasanya saya menginap di Hotel Istana yang terletak persis di ujun Jalan Diponegoro. Dan biasanya selalu menyempatkan diri memangkas rambut.
Tempat pangkasnya berada persis di bawah hotel. Hotelnya sendiri menempati lantai dua dan tiga. Lantai satu dipakai oleh beberapa kios pangkas yang berjejer berurutan. Meskipun kios pangkasnya lebih dari satu, mereka tampaknya punya pelanggan sendiri-sendiri. Tukang pangkasnya berasal dari Sumatera Barat. Ini bisa dikenali dari nama marga yang tercantum pada masing-masing cermin. Nama-nama itu misalnya Chaniago, Kotto, atau Jambak.
Saya senang memangkas rambut di situ karena sambil dipangkas kita bisa melihat lalu-lalang orang di sepanjang jalan. Pelayanannya pun komplit. Setelah rambut dipotong sesuai permintaan, bangku pangkas dimiringkan hampir 150 derajat agar kita merasa relaks saat kumis, cambang, dan dagu dibersihkan. Setelah bangku ditegakkan kembali, pundak kita dipijit-pijit, kemudian kepala ditekuk kiri kanan sampai terdengar bunyi tulang bergemeletak. Setelah sisa-sisa rambut dibersihkan, pundak kita masih diolesi lagi dengan minyak oles.
Untuk semua itu kita hanya perlu membayar lima ribu Rupiah saja!
Waktu itu – sekitar tahun 1995an – tarif itu relatif murah. Bahkan sangat murah kalau dibandingkan dengan ongkos memangkas rambut di Jakarta.
Memang di pinggiran Jakarta ongkos pangkas rambut kurang lebih sama. Tapi itu hanya untuk potong rambut dan pijat pundak saja. Kalau mau merapikan kumis dan dagu dikenakan tambahan biaya.

 

Menanam Padi Harus Bersamaan

Sewaktu bertugas di pedalaman Kabupaten Mandailing Natal, saya mendapat tugas dari perusahaan untuk menaman padi unggul jenis IR 64. Tujuannya agar masyarakat sekitar dapat melihat keunggulan jenis padi tersebut dibandingkan padi lokal yang selama ini mereka tanam.
Ketika hal tersebut saya sampaikan kepada kepala desa, beliau menyarankan untuk menunggu musim tanam berikutnya, sebab saat itu sudah memasuki masa pemeliharaan padi. Rupanya tradisi di desa tersebut, kegiatan menanam padi dilakukan serentak. Kapan mulai menyemai dan kapan mulai menanam diumumkan lewat mesjid seusai sholat Jum’at.
Merasa sebagai orang berpendidikan, tentu saja saya keberatan. Kenapa harus ikut-ikutan yang lain? Biarlah padi di sawah-sawah lain sudah mulai berbulir, kalau kita baru mulai menanam sekarang, apa salahnya? Toh lahan milik kita sendiri, dan benih juga kita beli sendiri.
Akhirnya dengan penuh keyakinan benih padi unggul itu kami tanam. Ketika padi-padi milik masyarakat sudah dipanen, padi milik perusahaan baru memasuki masak bulir. Pernyataan dari kepala desa kemudian terbukti. Karena sawah-sawah lain sudah kosong, maka seluruh burung-burung sawah menyerbu sawah kami. Mereka berpesta pora di sawah kami!
Baru kemudian saya menyadari bahwa salah satu alasan kenapa menanam padi dilakukan serentak adalah untuk mengurangi resiko serangan burung. Dengan banyaknya sawah yang masak bulir secara bersamaan, serangan hama burung jadi terbagi-bagi.
Kebersamaan memang mempunyai makna yang lebih baik. Dan pengalaman dengan padi itu merupakan salah satu buktinya.

 

Rabu, 12 Mei 2010

Ampas Kelapa sebagai Pelindung Benih


Sewaktu bekerja di pedalaman Tapanuli Selatan (kini Kabupaten Mandailing Natal – pen.) saya berinisiatif mengisi waktu dengan bercocok tanam. Merasa sebagai ‘orang kota’, biasanya saya berkonsultasi dulu dengan masyarakat setempat jika akan menanam sesuatu. Demikian pula ketika terpikir untuk menanam cabe di halaman belakang.
Orang kampung yang saya mintai pendapat menyarankan begini, “sebelum benihnya disemaikan, rendam dulu dengan air panas satu malam sebelumnya.”
O, kalau itu saya sudah tahu. Gunanya untuk mempercepat proses tumbuhnya benih. Dengan direndam dalam air panas, kulit benih menjadi lunak sehingga kecambah lebih mudah menembus keluar. Besok paginya sudah kelihatan bintik-bintik putih kecambah di tepian benih. Dengan cara itu kita sekaligus bisa mengetahui mana benih yang baik dan mana yang jelek.
“Jangan lupa bawa ampas kelapa,” kata Bapak itu lagi. “Nanti ditaburkan di sekeliling tempat semainya.”
Nah, kalau yang ini saya baru mendengar.
“Untuk apa, Pak?”
“Di sini banyak semut yang suka memakan benih. Dengan adanya ampas kelapa tadi, semut-semut itu akan memakan ampasnya lebih dulu. Begitu ampasnya habis, benihnya sudah tumbuh dan sudah aman dari gangguan semut.”
Saya mengangguk-angguk mengerti.
Yang begini ini tidak pernah disebutkan dalam buku panduan. Memang benar kata pepatah, pengalaman adalah guru yang paling baik.


dimuat di majalah intisari No.530/September 2007

Dipanggil Dengan Nama Anaknya

Selain persoalan memanggil dengan nama marga, persoalan panggil memanggil ini ternyata belum selesai. Banyak karyawan yang sering dipanggil dengan nama yang berbeda dengan namanya sendiri. Ada yang bernama Amin Saputra tapi sehari-harinya dipanggil Pak Rizal. Istrinya juga disebut Mak Rizal. Ada lagi marga Manulang yang dipanggil Papa Amel, sementara istrinya dipanggil Mama Amel.
Tadinya saya pikir itu adalah julukan atau alias, atau sekedar nama kecil untuk menunjukkan keakraban. Ternyata bukan. Nama panggilan itu adalah nama anak pertama mereka.
“Kebiasaan di sini memang begitu. Orang biasa dipanggil dengan nama anak pertamanya. Pak Rizal itu berarti Bapaknya si Rizal. Kalau Papa Amel berarti Papanya si Amel….”
Tanya punya tanya, kebiasaan itu terjadi karena banyaknya nama atau marga yang sama. Jadi untuk mempermudah pengenalan, nama anak pertamanya yang dipakai, tidak peduli apakah anak pertamanya laki-laki atau perempuan. Juga tidak peduli apakah anaknya baru satu atau sudah dua belas.
Kemudian bagaimana kalau sudah punya anak tetapi anaknya belum diberi nama? Soalnya di kalangan suku Batak kadangkala untuk memberi nama anak harus menunggu persetujuan dulu dari Ompung (kakek-nenek) dan kerabat se-marga lainnya.
Gampang. Kalau anaknya laki-laki, untuk sementara Bapaknya boleh dipanggil Pak Ucok. Sedangkan kalau anaknya perempuan, panggil saja Pak Butet. Nanti kalau anaknya sudah dapat nama, otomatis sebutan itu akan berganti dengan sendirinya.
Tadinya saya pikir ini cuma kebiasaan di Sumatera Utara saja. Ternyata tidak.
Anda kenal Papa T. Bob? Nama pencipta lagu anak-anak itu ternyata juga bukan nama aslinya. Nama itu diambil dari nama anak laki-laki pertamanya, yaitu si T.Bob. Jadi Papa T. Bob artinya ya Bapaknya si T. Bob.

 

Di Sini Sedia B-2....

Pernah jalan-jalan di pasar tradisional di kawasan Sumatera Utara?
Kalau pernah, jangan heran kalau melihat kios daging dengan tulisan DI SINI DIJUAL B-2 pada dindingnya. Juga jangan kaget kalau melihat daging yang dijual rada-rada aneh. Sebab tulisan itu memang petunjuk yang memberitahukan bahwa di kios itu dijual daging babi. Kios tempat penjualannya pun terpisah jauh dari kios daging yang menjual daging sapi, daging kerbau, daging kambing, ataupun ayam.
Tulisan semacam itu kadang juga terlihat pada kios-kios tunggal di pinggir jalan, atau pada pakter-pakter dan lapo-lapo tuak yang merupakan tempat minum-minum khas di Sumatera utara. Pertanyaan yang melintas barangkali, “kenapa babi disebut dengan B-2?”
Karena dalam kata babi terdapat dua huruf b.
Selain istilah B-2, terbaca juga tulisan lain, misalnya, DI SINI JUGA SEDIA B-1.
Jangan buru-buru menafsirkan sebagai vitamin b1, karena memang tidak ada hubungannya sama sekali. Pengumuman terakhir tadi berarti tempat itu juga menyediakan daging anjing.
Lho, kok anjing disebut B-1? Kan tidak ada huruf b-nya?
Bisa saja.
Sebab di Sumatera Utara anjing dipanggil dengan sebutan Biang.


 

Semua Minta Dipanggil Marganya


Kesulitan awal yang harus saya hadapi ketika bertugas di Sumatera Utara adalah masalah marga. Pertama, banyak nama marga yang baru pertama kali saya dengar. Selama di Pulau Jawa, marga suku Batak yang terdengar paling-paling Siregar, Simatupang, Silitonga, atau Si- Si- lainnya. Makanya waktu pertama kali berkenalan, saya terkaget-kaget karena banyak marga yang baru sekali itu saya dengar. Misalnya Marbun, Harianja, Barutu, Pinem, ataupun Gaja.
Masalah kedua, mereka lebih suka dipanggil nama marganya daripada nama depannya!
Ini merepotkan karena bukan cuma satu orang yang bermarga Siregar. Ada Maruli Siregar, Marsihat Siregar, atau Monang Siregar. Repotnya karena di dalam daftar karyawan ketiganya tercatat sebagai M. Siregar! Kalau ada sesama karyawan yang bertanya, misalnya, “Pak, ada melihat Siregar?” Maka saya akan ganti bertanya, “Siregar yang mana?”
“Siregar yang supir dumptruk itu!”
O, baru saya tahu siapa yang dimaksudkannya.
Waktu masalah ini saya sampaikan, anggota saya yang bernama Ganda Siregar malah membenarkan. “Iya, Pak, kalau kami orang Batak lebih suka disebut marganya. Supaya lebih terasa kebersamaan dan kekeluargaannya. Jadi kalau Siregar-Siregar sedang berkumpul, semuanya merasa sama. Tidak ada Siregar yang supir, tidak ada Siregar yang kepala bagian.”
Untuk membedakan Siregar yang satu dengan Siregar yang lainnya ditambahkanlah jenis profesinya masing-masing. Nama panggilannya menjadi berbeda dengan nama yang tercatat dalam daftar karyawan. Ada Siregar Dumptruk (yang supir dumptruk), ada Siregar Las (yang tukang las), ada juga Siregar Survey (yang kerjanya survey).
Masalah kemudian muncul kalau ada dua marga yang sama yang bekerja di bagian yang sama pula. Maka lahirlah nama Sirait Parapat (yang asalnya dari Kota Parapat) dan Sirait Medan (yang mengaku sebagai anak Medan).
Ada juga karyawan yang bukan Batak yang sama-sama bernama Supriyadi, sama-sama supir logging truk, dan sama-sama berasal dari Aceh. Untuk membedakannya, yang lebih dulu masuk kerja dipanggil Supriyadi A. Sementara yang masuk belakangan dinamai Supriyadi B.
Kasus nama yang sama ini memang banyak dijumpai di desa-desa yang terpencil. Lingkungan desa yang sederhana tidak memerlukan nama yang aneh-aneh – seperti anak-anak kota jaman sekarang. Pernah pada satu saat ada tiga orang yang bernama Nasib. Hanya Nasib saja. Tanpa marga, tanpa nama belakang, tanpa nama keluarga. Masalah muncul karena bagian personalia mengira itu kesalahan tulis saja. Dipikirnya nama satu orang yang didaftar sampai tiga kali. Setelah tahu bahwa ketiga-tiganya ada dan eksis di perusahaan, maka dibuatlah nama Nasib I, Nasib II, dan Nasib III.
“Kayak nama raja-raja saja,” komentar karyawan lainnya. Mungkin dia teringat Sultan Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X.
Lalu bagaimana kalau ada karyawan yang nama atau marganya sama, pekerjaannya sama, kampung asalnya sama, dan tanggal masuknya juga sama? Memang kejadian seperti itu belum pernah terjadi. Tapi kalaupun ada, percayalah, selalu ada cara untuk menemukan pemecahannya.


Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Januari 2007

Selasa, 11 Mei 2010

Pengantinnya Pakai Kacamata Hitam



Prosesi perkawinan di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara, masih bertahan sampai sekarang. Setidaknya untuk desa atau kampung yang berada jauh di pelosok gunung atau bukit.
Acara biasanya diawali dengan iring-iringan mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Mempelai pria diiringi keluarganya berjalan kaki menuju rumah mempelai wanita. Kemudian ijab kabul atau pembacaan janji pernikahan seperti pada umumnya, biasanya diikuti dengan nasehat-nasehat dari para tetua adat atau tokoh desa.



Yang menarik, pengantin prianya mengenakan kacamata hitam. Ini katanya untuk mengurangi rasa malu karena seharian jadi tontonan orang banyak. Kacamata hitam itu dipakai sejak sore hari – saat iring-iringan – sampai malam hari – saat pembacaan ijab kabul. Bahkan pada malam hiburan yang diadakan malam itu juga atau besoknya, kedua mempelai wajib hadir di sisi panggung – meskipun hanya untuk duduk saja.
Belakangan ini sudah ada rasa malu memakai kacamata hitam, terutama pada malam hari karena dirasa tidak cocok lagi dengan suasana. “Seperti tuna netra saja,” begitu mungkin pikir mereka. Kacamata pun diganti dengan yang berwarna kecoklatan atau putih polos.

 

Hiburannya – kalau di desa-desa yang jauh dari kabupaten – biasanya band dari kampung setempat. Lagu-lagunya didominasi lagu dangdut. Kadang-kadang lagu Rock Malaysia. Selain band, yang paling sering ditampilkan adalah Nasid atau Qasidah. Apalagi kalau kebetulan mempelai wanitanya sewaktu masih gadis aktif sebagai anggota Nasid.
Kalau mempelai wanitanya dulu vokalis Nasid, sudah bisa dipastikan ia akan didaulat untuk menyanyi. Seperti juga pada pentas dangdut, tak usah heran kalau di antara penonton ada yang naik ke pentas untuk nyawer – menyerahkan lembaran uang kertas.
Pemberian uang sawer itu bisa bermakna dua hal. Pertama sebagai sumbangan atau kado pernikahan. Kedua sebagai permintaan untuk terus menyanyi. Makna yang kedua menunjukkan popularitas sang mempelai saat masih gadis dulu. Semakin banyak yang menyawer, berarti makin banyak penggemarnya yang kecewa karena sejak saat itu dia sudah jadi istri orang.


tulisan ini juga dimuat di Intisari edisi Juli 2010

Senin, 10 Mei 2010

Taksi atau Angkot?

Istilah taxi untuk menyebut angkutan kota ternyata banyak digunakan di beberapa wilayah di luar Pulau Jawa. Misalnya di Bengkulu, di Pekanbaru, di Fakfak, dan juga di Pangkalan Bun. Mungkin juga ada di beberapa provinsi lain di Indonesia tercinta ini.
Namanya saja taxi, tapi penampilan dan sistim trayeknya lebih mirip angkot. Kadang – secara kebetulan – warnanya pun kuning seperti umumnya warna taxi pada tahun 80-an. Meski begitu, penampilan taxi angkot di beberapa tempat memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.
Persamaan antara taxi angkot dan taxi betulan ya di servis-nya. Kita bisa minta diantar sampai di depan rumah kalau kita meminta – misalnya pas lagi banyak bawa barang belanjaan. Tinggal ngomong sama sang supir dan biasanya penumpang lain maklum adanya.
Saya senang-senang saja kalau taxi angkotnya nyeleweng dulu keluar trayek. Apalagi kalau sedang tidak terburu-buru. Toh tidak bakalan terlalu jauh. Soalnya dengan begitu malah jadi tahu pelosok-pelosok jalan yang lain.
“Itulah sebabnya dinamakan taxi,” komentar saya dalam hati.“Penumpangnya bisa minta diantar langsung ke depan rumah..”
Di Pekanbaru, taxi-taxi angkot identik dengan musik. Hampir semua dilengkapi dengan stereo set yang memekakkan telinga. Pilihan musiknya pun beragam, tergantung selera supirnya. Ada yang pop, ada yang dangdut, ada pula yang rock. Semakin mendekati terminal di Jalan Nangka – yang di sana disebut loket, mungkin karena banyaknya loket-loket bis antar kota yang berjajar di sepanjang terminal – suara hingar-bingar semakin menjadi.
Hebatnya lagi, calon penumpang bisa memilih sesuai selera musiknya masing-masing. Meski taxi-nya sudah berjejer di depan mata, tapi kalau selera musiknya berbeda, mereka – biasanya anak-anak sekolah – lebih rela menunggu musik pujaannya.
“Nggak ah,” terdengar komentar salah seorang di antaranya. “Nanti aja. Musiknya aku enggak suka....Tunggu yang pop aja...”
Padahal, di dalam angkot berisiknya bukan main. Kalau pas kebagian tempat di depan di samping supir, kadang saya mengecilkan sendiri volumenya. Soalnya pernah pada satu waktu, pas lagi dalam angkot yang menyetel dangdut house music, eh istri menelpon. Begitu mendengar suara bising, istri spontan bertanya,
“Papa lagi di mana? Lagi di diskotik ya?”
“.....  ....”