Jumat, 18 Juni 2010

Sepotong Senja di Pantai Fakfak


Fakfak hanyalah sebuah kota kecil di paruh burung Papua. Sebagai kota pantai dengan luas tak lebih dari enam kilometer persegi, Fakfak memang tidak menjanjikan banyak hal. Secara tidak resmi wilayahnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu kawasan kota yang berada di pinggir pantai, dan kawasan puncak yang berada di perbukitan. Angkutan kotanya – yang di sana disebut taksi – bisa dikatakan memiliki trayek fleksibel. Meskipun dari Terminal Tambaruni ada taksi berwarna kuning jurusan puncak dan ada taksi merah jurusan kota, tetap saja kita bisa memilih keduanya untuk berjalan-jalan menikmati keindahan Fakfak.

Kawasan puncak merupakan kawasan berbukit-bukit dengan jalan aspal meliuk-liuk di antaranya. Dari ketinggian kita bisa menikmati hamparan luas Laut Arafura di bawah sana. Lautnya membiru saat cuaca cerah dengan hiasan beberapa kapal berlabuh di pelabuhan. Pulau Panjang yang memanjang persis di depan kota seolah merupakan benteng alam dari bahaya ombak besar. Perahu-perahu nelayan dan longboat – perahu cepat berbentuk panjang seperti pisang – hilir mudik melengkapi suasana.


Untuk menambah daratan agar bisa menampung perkembangan kota, pemerintah daerah membangun Jalan Reklamasi yang menghubungkan Pasar Tambaruni dan Jalan Itzak Tellusa. Tepat di hadapan Jalan Reklamasi, pemandangan laut membentang sepanjang mata. Di sepanjang Jalan Reklamasi terdapat tembok pembatas tempat orang-orang duduk-duduk atau memancing sambil menikmati udara sore.



Jangan lewatkan keindahan sunset yang muncul menjelang senja!
Paduan warna warni matahari sore bakal memuaskan dahaga mata kita. Jangan juga terburu-buru pulang selepas senja. Warung-warung ikan bakar yang berjejer di sepanjang jalan Reklamasi mulai menggelar jualannya. Dengan hanya 25 ribu Rupiah, kita sudah bisa menikmati kakap merah atau kerapu panggang plus lalapan, sambil ditemani sejuknya semilir angin laut. Murah dan mengenyangkan!

 

Rabu, 16 Juni 2010

Dibelah Hidup-Hidup


Persoalan utama yang dihadapi pekerja di hutan adalah menu sehari-hari. Rasanya bosan banget kalau tiap hari yang disajikan cuma indomie rebus, ikan asin bakar, atau sambal sarden. Karena itu perlu dicari menu alternatif untuk menghindari rasa bosan.
Kalau lokasi kerjanya dekat kampung (di sana jarak dua atau tiga kilometer dianggap dekat) kita bisa minta daun singkong atau membeli ayam. Tapi kalau pun letak kampung terlalu jauh, itu juga bukan persoalan karena anggota survey biasanya adalah pemburu yang handal.

Mereka terampil menyelam untuk menombak ikan atau memasang jerat. Mereka juga tahu sungai mana yang banyak ikannya dan jalur mana yang sering dilintasi hewan buruan. Masalahnya kemudian, bagi Orang Dayak semua hewan bisa dimakan. Tak ada istilah haram atau halal, apalagi makruh. Kalau dapat kijang atau burung kuau, tanpa ragu kami para perantau dari Jawa ikut memakannya. Tapi kalau dapat trenggiling atau burung yang aneh-aneh wujudnya, apa boleh buat, kami memilih indomie saja.

Binatang buruan yang jadi favorit adalah kura-kura, labi-labi, dan baning. Ketiganya hampir sejenis. Sama-sama keluarga kura-kura yang membawa-bawa tempurung di punggungnya. Hanya saja kalau labi-labi adalah amphibi yang hidup di dua alam, kura-kura dan baning hidup di darat. Labi-labi bentuknya seperti bulus, tempurungnya lebar menyerupai penggorengan dengan warna kusam abu-abu. Tempurung kura-kura dan baning (Tetsuda emys) lebih menggelembung menyerupai helm tentara. Bedanya lagi, tempurung baning punya corak lebih indah.

 
Enaknya itu mereka gampang ditangkap. Kalau sudah kelihatan merayap di lantai hutan, tinggal diangkat dan dibawa pulang ke tenda. Labi-labi bisa bergerak cepat – lebih-lebih kalau sedang berada di dalam air – dan memiliki daging kenyal-kenyal empuk. Sementara daging baning berwarna merah seperti daging kerbau. Labi-labi – seperti halnya katak – masih bisa dipertanyakan halal atau makruhnya. Tapi kalau baning jelas-jelas halal karena hidup di darat dan hanya memakan kulit kayu dan jamur. Dagingnya pun enak.

Yang tidak enak adalah cara menyembelihnya. Baning atau kura-kura atau labi-labi selalu dibantai hidup-hidup! Tempurungnya dibelah berkeliling dari samping kemudian dibuka seperti orang membuka kulit durian. Pada saat itu kempat kakinya masih bergerak-gerak.Adegan itulah yang sering membuat miris. Tapi kata mereka itu cara paling cepat dan praktis.
“Kalau mau disembelih, di mana motongnya, Om? Lehernya keluar masuk terus, susah megangnya....”



Liburnya Kalau Hujan

Kegiatan operasional di areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sangat dipengaruhi cuaca. Hampir semua sektor pekerjaan tidak bisa terlaksana dengan baik kalau cuaca buruk. Penebang dilarang menebang pohon saat angin kencang dan hujan deras. Arah rebah bisa berubah dan itu mengancam keselamatan mereka.
Operator traktor atau bulldozer sulit menarik log atau kayu hasil penebangan kalau jalan angkutan berlumpur bekas hujan. Demikian juga supir logging truck, sangat tidak nyaman jika harus terseok-seok membawa puluhan kubik kayu dengan berat puluhan ton di atas jalan licin.


Itu sebabnya cuaca cerah menjadi satu-satunya harapan untuk mengenjot produksi. Pada musim kemarau, mereka akan memanfaatkan panas matahari dengan sebaik-sebaiknya untuk menebang dan mengeluarkan log ke tempat penumpukan. Operator chainsaw dan traktor bisa bekerja sampai sore hari.
Hilir mudik kendaraan memindahkan log dari tempat penimbunan kayu (biasa disebut TPn) menuju logyard atau logppond bisa berlangsung sampai tengah malam. Dengan catatan: kalau hari terang. Sebab sebagian besar jalan angkutan menuju ke blok-blok penebangan memang hanya berupa jalan tanah saja, sehingga kalau turun hujan praktis tidak bisa digunakan. Kalau hujannya sehari penuh, bisa-bisa besoknya dua hari berturut-turut tidak ada kegiatan pengangkutan.
Itu sebabnya di sepanjang jalan angkutan, duapuluh meter kiri kanannya wajib dibersihkan dari pohon dan semak belukar. Kegiatan yang disebut tumbang bayang ini bertujuan untuk membebaskan permukaan jalan dari bayang-bayang pohon. Maksudnya agar sinar matahari bisa leluasa menyinari jalan sehingga jalan cepat kering setelah turun hujan.
Lantas kalau hujannya sampai berhari-hari, bagaimana?
“O, itu berarti libur nasional!” kata supir truk sambil tertawa. Sepanjang hujan turun mereka bisa dikatakan libur total. Hari-hari diisi dengan main kartu, ngobrol, atau nonton tivi. Meskipun kelihatannya menyenangkan, mereka resah juga kalau hujannya tak kunjung berhenti. Soalnya gaji mereka dihitung dari kubikasi log yang diangkut tiap bulannya. Semakin besar kubikasinya berarti semakin tinggi penghasilannya.
Tidak heran kalau pada hari minggu mereka tetap bekerja untuk mengejar hasil sebanyak mungkin. Tanggal merah pun seringkali dianggap tidak ada. Hari libur resmi mereka dalam setahun hanya empat kali, yaitu pada saat Tahun baru, Tujuh Belas Agustus, Natal, dan Idul Fitri. Hari libur selebihnya ya pada saat turun hujan tadi.

Selasa, 15 Juni 2010

Dari Lintah sampai Kutu Monyet

Camp tarik merupakan perumahan pekerja yang berada di ujung jalan angkutan. Tapi bukan berarti yang paling ujung. Jauh di dalam hutan, ada kelompok pekerja yang disebut regu survey. Mereka tidak dibuatkan rumah – baik permanen maupun semi permanen – tapi diberi terpal untuk tenda. Tempat kerjanya di tengah hutan sehingga mirip orang kemping.
Satu regu survey terdiri dari sepuluh sampai duabelas orang. Tugasnya membuat batas areal penebangan dan mendata potensi kayu yang ada. Sekali masuk hutan mereka langsung membawa perlengkapan dan bekal makanan selama sebulan. Diantar sampai ujung jalan, selebihnya jalan kaki.
Kalau lokasi surveynya cuma beberapa kilometer, jalan kakinya cuma setengah hari. Tapi saya pernah mengalami lokasi survey sampai duapuluh kilometer. Wah, untuk melangsir perbekalan saja butuh lima hari. Untungnya anggota regu survey diambil dari masyarakat setempat yang sudah tidak asing dengan suasana hutan. Mereka bahkan sanggup mengangkut beban lebih dari 30 kg dengan kecepatan normal, tanpa alas kaki lagi!
Di lokasi survey, yang pertama kali dilakukan adalah mendirikan tenda. Beruntung kalau ketemu sungai besar, karena nantinya bisa memancing ikan untuk variasi menu makanan sehari-hari. Soalnya bekal yang disediakan perusahaan biasanya cuma indomie, sarden, dan ikan asin.
Kalau sungainya kecil sebetulnya tidak masalah karena airnya malah lebih bersih, mirip air mineral kemasan. Cuma untuk mencari ikan harus pergi agak jauh. Tapi itu juga tidak masalah karena kita bisa memasang perangkap di sekeliling tenda. Lumayan kalau dapat kancil, burung kuau, atau bahkan kijang!

Yang jadi masalah justru serangga pengganggu yang seperti tidak ada habisnya. Dalam perjalanan ke tengah belantara, lintah-lintah kecil yang disebut pacet sudah menunggu di ujung-ujung dedaunan. Waktu menempel di kaki seringkali tidak terasa. Begitu kembali ke tenda dan mengganti celana panjang, baru ketahuan darah mengucur di betis atau paha.

 

Nyamuk mungkin sudah tidak asing lagi karena di kota juga banyak. Tapi agas – serangga lembut sebesar butiran pasir – sangat mengganggu karena menimbulkan gatal di kulit. Ada yang menyarankan untuk merokok untuk menghindari serangan agas. Tapi kalau agasnya datang tanpa henti apa iya kita juga harus merokok terus-terusan?
“Nggak kena agas tapi nanti malah kena TBC,” komentar saya.

Ada lagi yang namanya pitak. Ini bukan luka kecil di kepala melainkan nama sejenis lalat besar yang memiliki jarum di ujung mulutnya. Kalau sudah menggigit, sakitnya minta ampun. Menepuknya juga sulit karena mata facetnya bisa melihat ke segala arah.

Paling menjengkelkan dari semua tadi adalah kutu monyet. Serangga sejenis kutu ayam (gurem – kata orang Jawa) ini suka bersembunyi di antara ranting dan dedaunan kering. Begitu terinjak, puluhan dari mereka serentak menyerang kaki. Gatalnya minta ampun. Kalau digaruk malah tambah perih.
Kalau sudah kena serangan kutu monyet, kaki harus segera dibasuh dengan minyak tanah. (Tapi sialnya tidak selalu tersedia minyak tanah – untuk bahan bakar perusahaan menggunakan solar). Pakaian yang terkena pun sebaiknya dibakar saja, atau direndam air panas – kalau masih bagus. Kemudian kutunya dicari satu-satu – sebab biasanya mereka masih menempel di pori-pori – lalu diangkat dengan benda tajam semacam silet atau pisau cutter.
Dua hari kemudian pada bekas gigitan kutu monyet akan muncul bintik-bintik berisi cairan kuning seperti nanah. Setelah pecah biasanya timbul bercak-bercak hitam. Tapi tak usah kuatir, bercak hitam itu akan hilang seiring dengan waktu.
Seorang teman bercerita bahwa diserang kutu monyet itu bukan sakitnya yang jadi masalah, tapi malunya itu.
“Masak kutu-kutu itu tidak bisa membedakan kita dengan monyet!...”
 

Rumahnya Ditarik-tarik

Pernah mendengar istilah camp tarik?
Dalam struktur perusahaan HPH – khususnya di lapangan – base camp merupakan pusat kegiatan. Di base camp terdapat kantor, bengkel, kantin, gudang, perumahan karyawan, dan sarana-sarana penting lainnya.
Jauh di dalam hutan, ada lagi rumah-rumah pekerja yang disebut camp tarik. Di situ biasanya tinggal kelompok pekerja yang berhubungan langsung dengan pemungutan hasil hutan. Mulai dari operator chainsaw – gergaji mesin – yang bertugas menebang pohon, kemudian operator buldoser yang bertugas menarik potongan-potongan log ke tempat pengumpulan, dan tukang kupas yang kerjanya mengupas kulit kayu. Masing-masing dibantu satu atau dua orang helper.
Karena lokasi penebangan berpindah-pindah, maka rumah mereka tidak dibuat permanen seperti di base camp. Rumahnya dibangun di atas dua potong log sejajar, sehingga kalau lokasi penebangan pindah, rumahnya tinggal ditarik menggunakan buldoser. Itu sebabnya disebut camp tarik.


Sistim menariknya sama seperti kalau menarik mobil yang mogok. Rumah diikat pada beberapa titik yang strategis, kemudian buldoser menariknya ke tempat operasional yang baru. Karena jaraknya sampai belasan kilometer, melewati kondisi jalan yang naik turun tidak menentu, tidaklah mengherankan kalau siku-siku rumah jadi bergeser. Semakin sering berpindah tempat, semakin sering ditarik-tarik, kondisi rumah akan semakin goyah. Belum lagi perabotan – yang biasanya dibiarkan tetap dalam rumah – yang berjatuhan saat ditarik. Belum lagi kalau empunya rumah memelihara ayam di bagian belakang – yang biasanya ditempelkan begitu saja – dan ada ayam yang sedang mengeram, wah, bisa berantakan telurnya.
Karena cara tersebut seringkali memperpendek umur rumah, dan merusak jalan yang dilewati, belakangan digunakan cara baru : camp tumpang. Artinya camp ditumpangkan ke atas logging truk yang biasanya memuat kayu gelondongan.
Kebayang enggak cara menaikkannya?
Camp dipindahkan dulu ke tempat yang posisinya lebih tinggi dari jalan. Kemudian pantat logging truck didekatkan ke tebing dekat rumah, lantas camp didorong oleh buldoser persis ke punggung truck.
Tapi meskipun sistimnya tidak lagi ditarik, tempat tinggal yang berada di ujung jalan angkutan itu tetap saja populer disebut sebagai camp tarik....