Rabu, 11 Agustus 2010

Berburu Ikan di Papua


Siapa yang bisa mengingkari bahwa pribumi Papua adalah pemburu yang handal?
Mereka bukan hanya trampil mengejar rusa di belantara, tapi juga pencari ikan yang ulung. Perairan laut dan sungai Papua adalah sumber ikan yang tidak ada habisnya.

Adalah kenyataan yang menyenangkan manakala kita dengan mudahnya memperoleh tenggiri sebesar paha hanya dengan melempar pancing tanpa umpan dari atas longboat yang melaju.
“Orang kita bilang ini menonda, Bapa....” kata Markus tertawa sambil menunjukkan kerapu sebesar piring makan yang melahap kailnya – padahal tanpa umpan tanpa apa-apa – hanya sekedar dilepaskan di samping logboat yang kami tumpangi.

Itu belum seberapa.
Markus juga pandai menombak ikan di sela-sela akar bakau. Pada saat air surut, ia sering mengajak saya menombak ikan. “Buat makan malam, Bapa....” katanya.
Maka kami menggunakan sampan kecil menyusuri pesisir yang saat itu sedang surut. Ketinggian air hanya sebatas betis. Saya mengayuh sampan, Markus berdiri dengan tombak kecil siap di tangan. Setiap kali tombaknya dilemparkan, hampir selalu ada ikan atau mahluk air lain yang tertancap di ujungnya. Yang paling sering dapat kerapu sebesar telapak tangan. Kadang-kadang dapat gurita, udang karang, sotong (semacam cumi-cumi), atau ikan-ikan kecil lainnya. Kalau memasuki muara sungai bahkan sering mendapat kepiting bakau!
 

Kadang-kadang, beberapa warga datang ke muara sungai saat surut untuk mencari ikan menggunakan tuba dari semacam akar yang perasan airnya bisa membuat ikan-ikan mabuk. Mereka datang berombongan – kadang satu keluarga besar – membentuk pagar betis di mulut sungai. Akar tuba ditumbuk di atas akar bakau, kemudian dicampurkan ke dalam aliran air. Ritual ini ditingkahi dengan teriakan-teriakan yang terdengar seperti Kerééééé!.... Keréééé!... Keréééé!.... yang dimaksudkan untuk memanggil ikan agar mendekat.
Pria dewasa berjalan hilir mudik menyebarkan perasan akar tuba sambil kakinya mengubek-ubek air sungai sehingga menjadi keruh. Yang lebih muda bersiap dengan tombak di tangan. Ikan yang mabuk akan terlihat muncul di permukaan. Saat itulah tombak-tombak dilemparkan.

Hasilnya seringkali mengejutkan. Bisa sampai sekarung ikan berbagai rupa ditambah sotong dan kepiting. Bukan hanya sekedar cukup untuk makan malam, tapi juga bisa disimpan untuk persediaan beberapa hari kemudian!

Black And White



Saya suka foto ini.

Foto yang diambil di pesisir Pantai Danaruma – sekitar satu jam perjalanan longboat ke arah barat Distrik Kokas – ini membuktikan bahwa saya tidaklah sehitam yang saya kira. Selama ini saya sering risau dengan warna kulit yang semakin gelap. Itulah sebabnya sejak beberapa tahun terakhir akrab dengan krim pemutih yang menurut iklannya di tivi dapat memberikan efek lebih putih dalam beberapa minggu.

Pada saat bertugas di Fakfak, rasa risih itu berkurang. Karena ternyata masih banyak yang kulitnya lebih gelap dan lebih hitam daripada saya! Hampir sebagian besar pekerja – yang didominasi warga setempat – memang memiliki kulit hitam, tipikal warna kulit masyarakat Papua.

Markus (28 tahun) yang duduk di sebelah kanan, pemuda asli Kaimana, barangkali menjadi pembanding yang tepat. Badannya yang hitam kekar merupakan tipikal rata-rata warga setempat. Sering saya berseloroh padanya, “Markus, kalau jalan malam-malam jangan lupa tertawa ya!....”
“Kenapa, Bapak?” sahut Markus polos.
“Supaya orang tidak tabrak kamu, karena bisa lihat gigimu....”
Markus hanya tertawa keras. Dan gigi putihnya terlihat sempurna. Kalau saja Markus berjalan di malam hari tanpa memperlihatkan giginya, saya kuatir akan ada yang menabraknya. Apalagi Markus punya kebiasaan bertelanjang dada kemana-mana.

Di sebelah kiri berdiri Bilal Heremba (25 tahun), warga asli Distrik Kokas yang lebih sering menyebut namanya menjadi ‘Billy’, memiliki kulit tidak sehitam Markus. Tidak jelas kenapa kulit Billy tidak hitam legam seperti Markus. Tapi kemungkinan karena Markus asli penduduk pedalaman, sementara Billy tinggal di pesisir yang tingkat pembaurannya lebih tinggi. Hampir sebagian besar perkampungan di pesisir Papua banyak disinggahi pendatang dari Sulawesi dan Jawa, sehingga kemungkinan kawin campur selalu ada.

Saya suka foto ini.
Karena menggambarkan pembauran. Menggambarkan tidak adanya perbedaan suku dan warna kulit. Semua sama, semua punya hak yang sama untuk bergaul, bekerja, dan berkumpul. Tidak peduli saya yang dari Jawa, tidak peduli Markus yang dari Kaimana. Tidak peduli Billy yang coklat matang, tidak peduli Markus yang hitam legam. Tidak peduli Markus yang lebih menikmati rokoknya, Billy yang tersenyum ke arah kamera, dan saya mengamati kulit tangan yang rasanya semakin lama semakin menghitam sambil bergumam, “Padahal saya sudah pake Ponds tiap hari....”


Ponds, merek kosmetik yang katanya bisa memutihkan kulit dalam hitungan minggu....