Jumat, 19 November 2010

Orangutan, The Real Actor Of Tanjung Puting


 
Taman Nasional Tanjung Puting tidak pernah sepi pengunjung. Meskipun harus berlama-lama di atas perahu kelotok, toh pengunjung – terutama turis asing – datang silih berganti. Apa yang mereka cari? Apa yang ingin mereka lihat?

Orangutan!


Primata dengan nama ilmiah Pongo pygmaeus ini, memang merupakan primadona di sana. Kera besar yang juga disebut mawas ini ditemukan di hutan hujan tropika di malaysia dan Indonesia (khususnya di Kalimantan dan Sumatera). Hasil penelitian menyebutkan bahwa orangutan memiliki hubungan kekerabatan yang termasuk dekat dengan manusia pada tingkat kingdom animalia, dimana orangutan memiliki tingkat kesamaan DNA sebesar 96,4%.


Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa tingkah laku orangutan banyak kemiripannya dengan manusia. Dan dengan asumsi yang sama pula bisa dijelaskan kenapa kita begitu menyukai mahluk yang satu ini. Jadi tidaklah mengherankan jika orang rela datang jauh-jauh ke Tanjung Puting untuk sekedar melihat dari dekat – bahkan kalau bisa foto bersama – dengan mahluk berlengan panjang dan berbulu kemerah-merahan itu.




Ada satu tip yang perlu diingat jika Anda berkunjung ke Tanjung Puting : jangan membawa makanan ke dalam kawasan orangutan. Mereka sangat sensitif dengan bau makanan, yang terbungkus plastik sekalipun. Bukan sekali dua kali terjadi ada orangutan yang tiba-tiba sudah berada di dalam kelotok (yang diparkir di pinggir sungai) karena mencium aroma masakan, atau merangkul kaki pengunjung karena membaui ada sesuatu yang bisa dimakan dari kantungnya!





Dalam keadaan seperti itu, tidak perlu cemas tidak perlu panik, berikan saja apa yang mereka mau. Jangan membuat gerakan yang mengejutkan karena mungkin justru akan membuat oangutan semakin beringas.

Bagaimana?
Anda juga tertarik untuk berfoto bersama mereka?

Tanjung Puting, Primadona Kalimantan Tengah






Tanjung Puting, barangkali bukanlah nama yang terlalu asing, meski juga tidak terlalu akrab bagi mereka yang terbiasa tinggal di kota besar. Diresmikan sebagai Taman Nasional sejak 12 Mei 1984, kawasan seluas hampir 415.040 Ha itu dikenal sebagai pusat pelestarian Orangutan (Pongo pygmaeus) yang masuk dalam katagori satwa langka di Indonesia.



Adalah Birute Galdikas – seorang peneliti dari Kanada – yang mempopulerkan kawasan Tanjung Puting sebagai pusat kehidupan primata orangutan pada tahun 1971. Kepopulerannya banyak menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung ke sana. Hampir bisa dikatakan bahwa sebagian besar pengunjung Tanjung Puting adalah turis-turis asing.

Perjalanan menuju taman nasional dimulai dari Pelabuhan Kumai – sekitar 14 km dari Pangkalan Bun. Dari situ kita bisa memilih apakah akan menggunakan speedboat atau perahu kelotok. Speedboat dapat memuat sampai lima penumpang dengan ongkos sewa selama satu hari sebesar 500 ribu dan lama perjalanan sekitar satu setengah jam.
Tapi kalau pesertanya lumayan banyak (di atas 10 orang) lebih baik sewa perahu kelotok saja.

“Pake kelotok lebih enak,” kata petugas di kantor taman nasional. “Lebih santai, jadi bisa menikmati pemandangan di sepanjang kiri kanan jalan.”
Memang betul, karena jika menggunakan kelotok waktu tempuhnya menjadi sekitar empat jam! Meskipun terasa lama dan membosankan, ternyata banyak turis asing yang lebih menyukai pilihan ini, karena mereka bisa menikmati suasana hutan di sepanjang Sungai Sekonyer yang berair kehitam-hitaman itu.



“Pada pagi dan sore hari kita bisa melihat sekumpulan monyet dan kera di pepohonan kiri kanan sungai,” kata Syarifudin yang menjadi pemandu kami. “Kalau beruntung juga bisa ketemu buaya yang lagi berjemur di tepian.”


Biaya sewa kelotok antara 800 ribu sampai satu juta – tergantung kesepakatan. Bisa memuat sampai 15 orang. Sekarang ini pengunjung bisa memlih sistim paket. Misalnya satu juta lima ratus untuk sewa kelotok plus jasa pemandu dan tiket masuk. Ditambah 25 ribu per orang untuk makan siang dan snack sore hari. Jadi pengunjung tinggal terima beres saja. Nyaman kan?
Dan jangan kaget lho, meskipun kelotok, kamar kecilnya pakai kloset duduk! Maklum standar internasional....


Perjalanan dimulai sekitar pukul enam pagi, menyusuri Sungai Kumai yang lebar dan berair kecoklatan. Satu jam kemudian memasuki muara Sungai Sekonyer airnya masih coklat karena pengaruh penambangan emas di atasnya. Satu setengah jam kemudian kita tiba di Pos Tanjung Harapan (sekitar 20 Km dari Kumai) tempat melaporkan diri. Sepuluh kilometer dari Pos Tanjung Harapan ada Camp Tangui tempat rehabilitasi orangutan remaja. Di sini kita bisa singgah untuk melihat acara pemberian makan yang dilakukan antara pukul 09.00 – 10.00 pagi.

Semakin ke atas sungainya semakin kecil, airnya semakin gelap yang merupakan ciri khas kawasan hutan gambut. Tumbuhan nipah, pandan, dan bakung mendominasi sepanjang aliran sungai. Sekitar dua jam kemudian sampailah kita di Camp Leakey yang menjadi pusat riset dan rahabilitasi orangutan dewasa. Di sana terdapat pusat informasi dan arena pemberian makan (feeding site).


Di sanalah – pada tengah hari antara pukul 14.00 – 14.30 – pengunjung duduk dan menyaksikan belasan orangutan turun dari pucuk-pucuk pepohonan untuk menyantap hidangan berupa buah-buahan dan susu yang memang disediakan untuk mereka. Kesempatan ini banyak dimanfaatkan untuk mengambil foto-foto orangutan dalam berbagai polah dan gayanya. Atau, hmmm, Anda tertarik untuk ikut makan bersama? Boleh saja, asal jangan menghabiskan jatah mereka....

Rabu, 10 November 2010

Pangkalan Bun, Pangkalan Bunderan?

Ada yang pernah berkunjung ke Pangkalan Bun?
Bukan mengada-ada, tapi hampir sebagian besar rekan kerja yang untuk pertama kalinya datang ke Pangkalan Bun selalu menanyakan kenapa begitu banyak terdapat bunderan di dalam kota. Hampir setiap perempatan besar selalu dihiasi dengan bunderan di tengah-tengahnya.
“Pantesan namanya Pangkalan Bun,” komentar seorang di antaranya. “Habis di mana-mana ada bunderan sih....”
Sebetulnya tidak ada hubungannya, karena sebutan Bun berasal dari nama pengusaha yang pernah berjaya di tepian Sungai Arut pada masa abad ke-16. Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak bunderan di Pangkalan Bun – baik yang sudah populer maupun yang sedang dalam tahap pembangunan.
Nah, ini beberapa di antaranya :



Bunderan Pancasila

Merupakan bunderan yang paling populer di Pangkalan Bun. Terletak di simpang lima Jalan Malijo – Jalan Pasir Panjang – Jalan HM. Rafii – Jalan Iskandar – Jalan Pemuda. Dinamakan Bunderan Pancasila karena di tengahnya menjulang tugu dengan patung Garuda Pancasila di puncaknya.

Pada sore hari, ke lima trotoar yang mengelilinginya ‘hidup’ dengan kehadiran sejumlah kafe tenda. Mulai dari hidangan utama sampai sekedar makanan ringan tersedia di sana. Mulai dari sate sampai ikan bakar, mulai dari jagung rebus sampai gorengan. Ditambah lagi dengan sudut mainan anak-anak dan asesoris. Rasanya tidak ada warga Pangkalan Bun yang tidak mengenalnya.

Bunderan ini juga merupakan pusat pertemuan warga pada hari-hari besar. Pada malam Tahun Baru rasanya semua warga tumplek blek di situ. Pada malam minggu dan malam senin, kafe-kafenya dipenuhi remaja dan yang mengaku masih remaja. Duduk-duduk sekedar menikmati kentang goreng dan pop ice dengan harga murah meriah.



Bunderan Pangkalan Lima

Terletak di pintu keluar kota menuju Sampit. Lebih besar daripada Bunderan Pancasila tapi kurang populer karena letaknya yang jauh di luar kota. Di tengah bunderan ada tugu yang bisa kita naiki sampai setengah puncaknya. Di bagian luar lantai dasar tugu, terdapat lukisan relief yang menggambarkan perjuangan dan sejarah terbentuknya Kabupaten Kotawaringin Barat.


 
Bunderan Kalpataru

Dibangun di persimpangan Jalan Diponegoro – Jalan Prakusumayudha – Jalan Ciwaringin, sebagai simbol keberhasilan Pangkalan Bun meraih piala Adipura selama empat tahun berturut-turut (tahun 2007 – tahun 2010).




Bunderan Pramuka

Awalnya dinamakan Bunderan Beringin karena di tengah-tengahnya tumbuh pohon beringin. Tapi sejak 2008 beringinnya dibongkar – sesuatu yang amat disayangkan – diganti dengan monumen bertuliskan Praja Muda Karana. Terletak di perempatan Jalan Pramuka – Jalan Bhayangkara – Jalan HM. Rafii – Jalan Ahmad Wongso.




Bunderan Monyet

Populer sebagai Bunderan Monyet meski halaman yang ada di tengah bunderan dihiasi patung orangutan. Letaknya di persimpangan Jalan Pasir Panjang – Jalan Kumai – Jalan Padat Karya – Jalan Raya Kubu. Kehadiran patung orangutan itu seolah merupakan salam selamat datang bagi para pelancong yang akan berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting.


Selain bunderan-bunderan tadi, masih banyak bunderan lain yang menghiasi kota Pangkalan Bun – baik yang sudah berdiri maupun yang sedang dalam tahap pengerjaan. Misalnya Bunderan Jam di pertigaan Korindo yang dihiasi jam besar di tengah-tengahnya. Ada juga Bunderan Imanuel di depan Gereja Imanuel, Bunderan Arut dekat jembatan Sungai Arut sedang dalam tahap pengerjaan, dan Bunderan Jagung (yang puncaknya dihiasi patung jagung) di Pangkalan Lada.

Sebetulnya fenomena bunderan ini juga ditemui hampir di semua kota besar di Kalimantan Tengah. Bagi yang bermukim atau sering berkunjung ke Kalteng pasti akan mengakui kenyataan itu. Tapi bagi yang belum pernah, atau yang baru sesekali saja, mungkin akan percaya bahwa dinamakan Pangkalan Bun karena banyak bunderannya....