Rabu, 30 November 2011

Pohon Pencekik (Strangler Tree)


Istilah pohon pencekik atau strangler tree terdengar menyeramkan. Padahal itu hanyalah sebutan untuk cara yang dipakai pohon beringin atau pohon ara (Ficus benyamina) berkembang biak. Dinamakan pohon pencekik karena beringin berkembang biak dengan cara mencekik pohon inangnya.

Teorinya begini.
Biji pohon beringin yang tanpa sengaja terbawa paruh burung pemakan biji-bijian, jatuh dekat sebatang pohon. Biji tadi akan bertunas dan tumbuh dengan cara melilit pohon yang ada di dekatnya. Pada tahap itu beringin hidup sebagai epifit, hanya sekedar menempel untuk mencari makan.



Lama kelamaan, akar beringin makin kuat dan batangnya makin besar. Pada tahap selanjutnya, batang beringin akan mencengkeram erat pohon induknya sedemikian rupa sehingga si pohon induk akhirnya tidak dapat tumbuh normal karena tidak punya ruang gerak lagi. Pada tahap akhir, pohon induk justru mati dengan sendirinya, sementara beringin yang tadinya menumpang justru tumbuh kokoh dan kuat sebagai pemenang.


Proses pencekikan tadi bisa berlangsung bertahun-tahun, apalagi kalau hanya ada satu pencekik saja. Dalam perjalanan melintasi belantara, biasanya paling banyak hanya ada lima atau enam beringin yang menempel pada pohon induk. Karena itu sangatlah mengejutkan ketika pada suatu hari menemukan puluhan pohon pencekik mengerubuti sebatang pohon!




Hmmm, bisa dibayangkan betapa menderitanya sang pohon induk. Tidak perlu menunggu sampai setahun untuk menyaksikan sang beringin tampil sebagai pemenang, sementara sang pohon induk hilang nyaris tanpa bekas....

 

Logging Truck


Gambar kendaraan seperti terlihat di atas disebut logging truck. Kendaraan ini digunakan khusus untuk mengangkut kayu bulat (log). Heavy Equipment ini dapat memuat kayu bulat sampai 40 meter kubik atau setara dengan 50 ton kayu gelondongan!
Bagian belakang dibuat tanpa pembatas agar mudah menaik-turunkan kayu. Hanya ada tiang penyangga di kanan kiri badan truk, untuk menjaga agar muatan tidak jatuh.

Di kalangan pekerja hutan, truk semacam itu populer dengan sebutan ‘trailer’. Sebutan trailer ini diberikan karena truk mempunyai gandengan. (Logging truck yang tidak mempunyai gandengan disebut engkel). Gandengan itu bisa dilepas dan dipasang sesuai kebutuhan. Pada saat bermuatan, gandengan dipasang supaya truk bisa menampung kayu bulat dengan kisaran panjang sampai 16 meter. Pada saat tanpa muatan, gandengan dilepas dan dinaikkan di bak belakang sehingga truk dapat melaju lebih nyaman.

















Sambungan belakang dipindahkan dengan alat berat lain yang populer disebut kepiting. Nama resmi kendaraan tersebut adalah Loader.
Sesuai namanya, loader digunakan untuk membongkar dan memuat kayu gelondongan dari atau ke atas logging truck. Ada dua macam loader, yaitu Wheel Loader yang memakai ban karet seperti terlihat dalam gambar. Ada juga Track Loader yang menggunakan ban rantai seperti bulldozer atau tank baja. Track Loader lazim digunakan untuk daerah pemuatan dengan kondisi becek atau ekstrem.


Bagaimana memindahkan gandengan supaya bisa nangkring dengan nyaman di bagian belakang logging truck, bisa dilihat dalam rangkaian gambar berikut.





Dari Base Camp sampai Tenda Biru


Dalam struktur perusahaan HPH – khususnya di lapangan – base camp merupakan pusat kegiatan. Di base camp terdapat kantor, bengkel, kantin, gudang, perumahan karyawan, dan sarana-sarana penting lainnya. Itu sebabnya pada saat akan berkunjung ke suatu HPH, pertanyaan pertama yang diajukan adalah: di mana base camp-nya?

Lokasi base camp biasanya ditentukan berdasarkan ketersediaan air bersih. Pertimbangan ini tentu saja karena air sangat vital dalam kehidupan. Pekerja-pekerja tidak akan nyaman kalau air sulit diperoleh. Itulah sebabnya base camp umumnya berada dekat sungai besar yang pasokan airnya tidak tergantung musim. Nama base camp pun biasanya juga tidak jauh-jauh dari nama sungai itu sendiri.

Yang paling enak kalau dekat lokasi base camp terdepat air terjun. Air tinggal dialirkan ke base camp dengan pipa, dan akan mengalir nonstop siang malam. Kalau ternyata letak sungai lebih rendah daripada camp, apa boleh buat, terpaksa menggunakan pompa untuk memindahkan air ke bangunan-bangunan yang ada.

Di tengah hutan ada lagi rumah-rumah pekerja yang disebut camp tarik. Di situ biasanya tinggal kelompok pekerja yang berhubungan langsung dengan pemungutan hasil hutan. Mulai dari operator chainsaw – gergaji mesin – yang bertugas menebang pohon, kemudian operator buldoser yang bertugas menarik potongan-potongan log ke tempat pengumpulan, dan tukang kupas yang kerjanya mengupas kulit kayu. Masing-masing dibantu satu atau dua orang helper.
Karena lokasi penebangan berpindah-pindah, maka rumah mereka tidak dibuat permanen seperti di base camp. Rumahnya dibangun di atas dua potong log sejajar, sehingga kalau lokasi penebangan pindah, rumahnya tinggal ditarik menggunakan buldoser. Itu sebabnya disebut camp tarik.

Camp tarik merupakan perumahan pekerja yang berada di ujung jalan angkutan. Tapi bukan berarti yang paling ujung. Jauh di dalam hutan, ada kelompok pekerja yang disebut regu survey. Mereka tidak dibuatkan rumah – baik permanen maupun semi permanen – tapi diberi terpal untuk tenda. Tempat kerjanya di tengah hutan sehingga mirip orang kemping.
Satu regu survey terdiri dari sepuluh sampai duabelas orang. Tugasnya membuat batas areal penebangan dan mendata potensi kayu yang ada. Sekali masuk hutan mereka langsung membawa perlengkapan dan bekal makanan selama sebulan. Diantar sampai ujung jalan, selebihnya jalan kaki.

Kalau lokasi surveynya cuma beberapa kilometer, jalan kakinya cuma setengah hari. Tapi saya pernah mengalami lokasi survey sampai duapuluh kilometer. Wah, untuk melangsir perbekalan saja butuh lima hari. Untungnya anggota regu survey diambil dari masyarakat setempat yang sudah tidak asing dengan suasana hutan. Mereka bahkan sanggup mengangkut beban lebih dari 30 kg dengan kecepatan normal, tanpa alas kaki lagi!



Atap tenda regu survey biasanya memakai terpal berukuran 6 kali 8 meter untuk tenda utama, dan 3 kali 4 meter untuk dapur. Karena pada masa-masa awal sering dipakai terpal berwarna biru, maka tempat bernaung itu sering disebut Tenda Biru. Dan sebutan itu tetap populer meskipun kemudian terpalnya memakai warna coklat atau hitam.

Jadi kalau suatu saat Anda berjalan-jalan di hutan dan melihat ada tenda biru dengan kepulan asap di bagian belakang, jangan berpikir sedang ada hajatan perkawinan atau sunatan. Itu hanya rumah tinggal sementara para pekerja. Anda boleh saja singgah dan bahkan ikut makan, tapi tidak perlu menyelipkan amplop saat berpamitan....



 

Selasa, 25 Oktober 2011

Jembatan Kahayan, Ikon Palangka Raya



 Ada rencana berjalan-jalan ke kota Palangka Raya?

Kalau ada, sempatkan melihat Jembatan Kahayan. Itulah jembatan yang melintasi Sungai Kahayan di Kota Palangkaraya. Jembatan sepanjang 640 meter dengan lebar 9 meter itu sudah menjadi ikon Palangka Raya. Dari panjang enam ratusan meter itu, 150 meter berada persis di atas jalur pelayaran sungai.
Jembatan ini dibangun pada tahun 1995 dan selesai pada tahun 2001. Diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 13 Januari 2002, Jembatan Kahayan menghubungkan Palangkaraya dengan dengan Kabupaten Barito Selatan dan tembus ke Kabupaten Barito Utara


Selain sebagai sarana penghubung transportasi, Jembatan Kahayan juga jadi ajang kumpul-kumpul para remaja di sana. Hampir setiap sabtu dan minggu sore – jika cuaca cerah – puluhan remaja memarkir sepeda motornya dan duduk-duduk di sepanjang pembatas jembatan.



Tentunya menyenangkan sekali melihat polah remaja dengan berbagai tingkah dan gayanya. Jangan heran lho kalau busana dan hape mereka mengikuti trend. Meski jauh di Kalimantan sana, urusan mode dan gaya hidup tidak kalah dengan kota besar lainnya. Kalau sedang beruntung, kita juga bisa melihat atlit-atlit dayung berlatih di tepian sungai. Atau melihat nelayan setempat mencari ikan. Panorama kota pada saat senja juga menjadi sajian menarik lainnya.

Jadi, kapan jalan-jalan ke Palangka Raya? 

Minggu, 02 Oktober 2011

Berlebaran di berbagai Pelosok Nusantara

Bersekolah di SPMAN Bogor merupakan saat pertama kalinya merantau. Sejak itulah saya hidup terpisah dari keluarga. Dan hal itu ternyata terus berlanjut, karena kemudian saya kuliah di Bandung, diteruskan dengan bekerja berpindah-pindah tempat hampir di seluruh pelosok nusantara..
Kadang-kadang – karena satu dan lain sebab – saya tidak bisa pulang untuk berlebaran bersama keluarga. Suatu kenyataan yang sebenarnya menyedihkan tapi tetap harus dijalani. Kebiasaan dan tradisi berlebaran yang berbeda-beda di banyak tempat, merupakan pengalaman menarik seperti bisa dibaca berikut ini.


Tahun 1989 di Pontianak. Ini pertama kalinya saya merantau ke luar Jawa, ke sebuah perusahaan kayu di wilayah Kalimantan Barat. Karena hampir sebagian besar penghuni camp pulang kampung, kami (saya dan dua rekan seangkatan) ikut-ikutan turun ke Pontianak. Tiba di sana tepat saat beduk dan takbir mengalun di mana-mana. Karena tidak punya sanak saudara, kami menginap di Hotel Patria. Keesokan harinya mengikuti Sholat Ied di sebuah lapangan yang sudah lupa namanya. Usai sholat, karena tidak tahu harus ke mana, kami menghabiskan waktu seharian dengan tidur-tiduran dan nonton tivi di kamar hotel. Sore harinya jalan kaki ke kantor telkom untuk mengirim telegram ke rumah orangtua....

Tahun 1992 berlebaran di Base Camp di Sumatera Utara. Waktu itu baru mulai bekerja sekitar empat bulan, jadi tidak mendapat ijin cuti. Suasana sunyi di tengah hutan menjadi terasa sekali, karena dari seratusan karyawan, hanya kami berenam yang tidak bisa cuti.
Bayangkan, enam orang di tengah hutan belantara!
Kami yang tadinya tidur di tempat terpisah, akhirnya berkumpul di salah satu rumah. Karena tidak ada kegiatan operasional, kemana-mana selalu berenam. Begitu juga saat mandi di sungai, memasak, makan, tidur, dan nonton tivi bareng-bareng. Selalu berenam, selalu bersama-sama....

Tahun 1994 di sebuah kampung kecil bernama Teluk Balai. Kampung itu berada di pesisir pantai barat Sumatera. Bersama beberapa rekan yang tidak cuti, kami berangkat ke mesjid setempat. Sampai di sana mesjid sudah tiga perempat penuh. Jemaah duduk bershaf-shaf dan melantunkan sholawat. Sampai pukul delapan belum ada tanda-tanda dimulainya sholat Ied. Jemaah terus menerus melantunkan shalawat tanpa putus.
Sekitar pukul setengah sembilan, terdengar suara sepeda motor butut memasuki halaman mesjid. Suaranya yang ‘cempreng’ dan tidak enak membuat sebagian besar jemaah menoleh keluar. Beberapa bahkan bangkit berdiri menemui pengendara motor. Suara cempreng belum berhenti saat pengendara di atasnya berkata lantang: “Lebaran hari ini!”
Terdengar seruan alhamdullilah dari berbagai sudut. Beduk dipukul, adzan dikumandangkan, dan sholat Ied berjamaah pun dimulai. Rupanya si pengendara sepeda motor adalah pengurus mesjid yang berangkat sejak subuh ke mesjid kecamatan (jaraknya sekitar 33 Km dari kampung tersebut) untuk menanyakan kepastian pelaksanaan lebaran....

Tahun 1997 di Sibolga. Sholat Ied dilaksanakan di Lapangan Simare-mare yang berada persis di tengah kota. Jemaah datang menggelar tikar masing-masing di atas rumput yang setengah basah oleh sisa gerimis malam sebelumnya. Tidak ada yang istimewa dalam pelaksanaan sholat. Imam dan Khotib dirangkap oleh seorang pemuka agama yang jelas sekali berasal dari aparat TNI. Jumlah peserta pun tidak begitu banyak, terbagi dalam empat shaf jemaah pria dan dua shaf jemaah wanita di barisan belakangnya. Yang mengejutkan, segera setelah sholat dua rakaat selesai, jemaah wanita merapikan atribut sholatnya dan satu persatu meninggalkan lapangan. Acara khutbah hanya diikuti oleh jemaah pria....

Tahun 1999 di Desa Tabuyung, sebuah desa di pesisir barat Sumatera, sekitar sebelas kilometer sebelah utara Teluk Balai. Di desa itu ritual bermaaf-maafan ternyata sudah dimulai sejak pagi hari. Usai sholat subuh pertama di Bulan Syawal, masyarakat desa saling bermaaf-maafan. Diawali dari mesjid utama, dilanjutkan di sepanjang lorong perkampungan dan rumah-rumah penduduk.
Sholat Ied dilaksanakan selepas fajar menyingsing. Pemandangan unik terlihat dari beberapa jemaah pria yang hadir di halaman mesjid dengan jubah menjuntai sampai mata kaki, lengan panjang, sorban menutup kepala disertai ikat kepala manik-manik. bagaikan pangeran-pangeran dari negeri Arab!
Ternyata hal itu merupakan semacan kebiasaan di sana. Warga kampung yang sudah pernah menunaikan ibadah haji, akan tampil pada sholat Ied dengan busana lengkap bak sedang berada di padang pasir. Dengan demikian akan terlihat dengan jelas siapa-siapa saja yang sudah pernah berangkat ke tanah suci. Tradisi yang sama juga dilakukan saat sholat Idul Adha....

Tahun 2003 di Sawangan. Ini lebaran pertama setelah lama merantau di luar Jawa. Perumahan tempat tinggal kami memiliki musholla, sementara pelaksanaan Ied dilakukan di mesjid besar dekat kelurahan. Tidak ada yang istimewa dengan pelaksanaan Ied di mesjid besar. Setelah sholat Ied usai, kami warga perumahan berkumpul kembali di musholla. Acara utamanya adalah saling bermaaf-maafan antar warga. Dengan demikian, warga tidak perlu lagi saling mengunjungi karena semua sudah bertemu di musholla.
Di perumahan kami sekitar 25% adalah warga non-muslim. Pada saat kami bermaaf-maafan di musholla, warga nasrani juga bergegas ke musholla membentuk semacam barisan panjang di halaman musholla. Jadi begitu warga muslim selesai bersalam-salaman, di luar musholla warga nasrani juga menyambut dengan acara saling bermaaf-maafan.
Dari tahun ke tahun, antrian di luar musholla semakin panjang, bahkan sampai luber ke jalan utama. Ini dimungkinkan karena jumlah muslimin terus bertambah, jumlah nasrani juga tidak berkurang. Tradisi itu masih dilakukan sampai sekarang....

Tahun 2006 di Fakfak - Papua. Karena kesulitan mendapatkan tiket pesawat, saya terpaksa berlebaran di Tanah Papua. Bersama tiga rekan kerja senasib dari Jakarta, kami menginap di Hotel Fakfak yang memiliki pemandangan ke laut lepas. Sebagai kota yang baru berkembang, Fakfak membangun Mesjid Raya di atas perbukitan yang juga menghadap ke laut lepas. Bersama warga muslim lainnya yang kebanyakan berasal dari Jawa dan Sulawesi, kami melaksanakan sholat Ied berlatar belakang lautan biru membentang dan diiringi semilir angin laut.
Seusai sholat Ied, pemilik hotel yang ternyata perantau dari Ujungpandang, mengundang kami untuk makan bersama di ruang tamu. Di situlah pertama kalinya saya merasakan nikmatnya Coto Makassar, Sop Konro, dan Es Pallu Butung....

Tahun 2008 saya memutuskan berlebaran di Pangkalan Bun. Bukan karena tidak kebagian tiket, tapi karena ingin menikmati suasana Idul Fitri di Kalimantan Tengah. Ritual sholat Ied idak banyak berbeda dengan di daerah lain. Yang menarik adalah: pada hari kedua lebaran, pemakaman umum berubah laksana pasar. Rupanya di sana, hari kedua lebaran adalah hari untuk mendoakan arwah keluarga yang sudah mendahului kembali ke alam baka. Yang datang ke pemakaman bukan hanya pelayat beserta keluarganya, tetapi juga pedagang kagetan yang menggelar berbagai macam barang di sepanjang jalan. Mulai dari penjual bunga rampai, bakso, mie ayam, mainan anak-anak, air mineral dan rokok, sampai penjual asesoris berkumpul di sana.
Selepas tengah hari, suasana kota tampak kosong dan sepi. Sebagian besar warga rame-rame berkunjung ke Pantai Kubu, salah satu tempat wisata populer di Pangkalan Bun....

 

Sabtu, 06 Agustus 2011

Pohon Madu


Pernah mendengar yang namanya Pohon Madu?
Sebetulnya pohon bernama ‘madu’ tidak ada. Sebutan itu berlaku untuk jenis-jenis pohon yang biasanya menjadi tempat lebah membuat sarang dan menyimpan madunya. Pohonnya sendiri dikenal sebagai Manggeris (Kompassia excelsa) yang masih satu kerabat dengan pohon Kempas (Kompassia malaccensis).

Manggeris dikenali dari bentuk batangnya yang tinggi menjulang, berwarna keputih-putihan dengan tinggi cabang pertama bisa mencapai 30 meter. Kulitnya yang licin dan mulus agaknya menjadi pertimbangan bagi para lebah. Mereka secara naluri melihat pohon itu tidak mudah dipanjat sehingga aman bagi tempat membentuk koloni dan menghasilkan madu.

Satu-satunya satwa yang dihubungkan dengan mereka hanyalah Beruang Madu (Helarctos malayanus). Hewan berperawakan kekar dengan cakar-cakar kokoh dan panjang diketahui sebagai satu-satunya satwa yang sanggup memanjat ke atas untuk mengambil madu. Sebagai pencegahan, seringkali terlihat ada masyarakat yang memagari batang bawah pohon manggeris dengan pelat seng untuk menggagalkan upaya beruang memanjat ke atas.

Jika beruang punya cakar, maka manusia punya akal.
Untuk bisa mengambil madu yang terletak di ketinggian, mereka memasang takik-takik di sepanjang batang pohon manggeris yang licin itu. Takik-takik dibuat dari potongan kayu ulin, dibentuk menyerupai pasak, dan disusun ke atas membentuk anak tangga. Dengan cara begitu, madu dapat diambil untuk dipakai sendiri atau dijual. Takik-takik itu sendiri seringkali dibiarkan bertahun-tahun sehingga akhirnya menyatu dengan batang pohon Manggeris. Dari kejauhan nampak seperti rangkaian duri yang memanjang ke atas.

Padahal sebetulnya, bukankah beruang itu juga bisa menggunakan takik-takik yang ada untuk memanjat ke atas?
Barangkali itulah bedanya manusia dengan hewan. Hewan bekerja berdasarkan naluri, sementara manusia bekerja berdasarkan kebutuhan ekonomi....

Minggu, 10 Juli 2011

Antara Kotawaringin dan Sukabumi


Selama ini kita lebih mengenal Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur sebagai satu-satunya kerajaan di luar Pulau Jawa. Tapi jangan salah, masih ada Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan yang pernah memegang kendali perdagangan di pesisir Pulau Borneo tersebut. Dan lebih jangan salah lagi kalau ternyata pengaruhnya juga sampai ke Kalimantan Tengah.

Di Pangkalan Bun, salah satu situs peninggalan sejarah masa lampau dapat dilihat di Istana Kutawaringin yang berada persis di tengah kota. Sejarah berdirinya tidak terlepas dari peran Pangeran Adipati Antakesuma, putra Raja Banjar Sultan Mustainnubillah (1595-1642) yang melakukan serangkaian perjalanan ke arah barat menyusuri pantai selatan Pulau Kalimantan melewati tempat-tempat yang sekarang dikenal dengan Sampit, Kuala Pembuang, Seruyan, Rantau Pulut, Arut, dan Lamandau. Pada saat menyusuri Sungai Lamandau itulah rombongan Pangeran Adipati Antakesuma berhenti di suatu tempat yang kini dikenal sebagai Kotawaringin Lama.

Catatan sejarah di Astana Alnursari menyebutkan bahwa Kerajaan Kotawaringin Lama dibangun pada tahun 1615. Pangeran Adipati Antakesuma memerintah sebagai Sultan Kotawaringin ke I dengan gelar Ratu Bagawan Kotawaringin dari tahun 1615 – 1630.



Kerajaan Kotawaringin mengalami jaman keemasan pada masa pemerintahan Sultan ke VII Ratu Begawan (1727 – 1761). Kemakmuran kerajaan itu ditandai dengan dipakainya warna kuning sebagai lambang kejayaan sehingga istana Kotawaringin populer dengan sebutan Istana Kuning. Banyak pendatang dari berbagai daerah berdatangan mencari peruntungan di sekitar Kotawaringin. Kapal-kapal saudagar datang dan pergi membawa berbagai bahan dagangan dari Banjar, Bugis, dan Pulau Jawa. Tahun 1811, 1811 pada masa pemerintahan Sultan ke IX Pangeran Imannudin (1811-1841), pusat pemerintahan Kerajaan Kotawaringin Lama dipindah ke Pangkalan Bu’un yang berada di tepian Sungai Arut.

Perihal asal muasal sebutan Pangkalan Bun sendiri, berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, diambil dari nama seorang pengusaha bernama Bu’un yang saat itu menjadi pedagang sukses di tepian Sungai Arut. Saudagar Bu’un sendiri ada yang mengatakan berasal dari Sunda, ada juga yang menyebut dari etnis Tionghoa. Tepian tempat Saudagar Bu’un berdagang itulah yang akhirnya dikenal sebagai Pangkalan Bun, sementara anak sungai kecil yang mengalir ke muara tersebut dinamakan Sungai Bu’un.


Bangunan istana yang ada saat ini adalah hasil pembangunan ulang. Bangunan aslinya terbakar pada Tahun 1986. Saat ini kompleks Istana Kuning terbagi menjadi dua bagian. Yaitu bangunan istana di bagian atas, dan lapangan di bagian bawah. Bagian bawah dikenal masyarakat sebagai Lapangan Tugu yang ditandai dengan kolam dan sebentuk tugu menjulang ke atas. Di depan kompleks istana yang terdiri dari tiga bangunan utama, terdapat prasasti yang menandai dipindahnya pusat pemerintahan dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun. Sangat menarik saat mengetahui bahwa dulu Pangkalan Bun dikenal dengan sebutan Sukabumi.


Apa hubungannya dengan Sukabumi yang berada di Jawa Barat?
Tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan hal ini. Tapi beberapa cerita memang menyebutkan bahwa pada masa itu banyak orang-orang dari etnis Sunda yang mencari peruntungan di Kutawaringin. Bahkan Bu’un sendiri disebut-sebut sebagai saudagar etnis Tionghoa yang datang dari Sukabumi.


Senin, 20 Juni 2011

Supir-Supir Perkasa


Kalau saya ditanya, profesi apa yang membuat kagum di tengah belantara, maka serta merta saya akan menjawab: supir!


Bayangkan kondisi seperti ini. Seorang supir – di sana biasa disebut driver untuk supir kendaraan kecil, atau oparator untuk supir alat berat – harus menempuh perjalanan dua sampai tiga jam melintasi kawasan berhutan dengan pemandangan nyaris seragam di sepanjang kanan kiri jalan. Hanya ada pohon, pohon, dan pohon.

 

Jika terjadi suatu keadaan darurat, misalnya ban kempis, mungkin masih bisa pakai ban cadangan. Kalau ban cadangan sudah terpakai dan masih terjadi kempis ban yang lain? Atau kalau kendaraan terjebak dalam kubangan lumpur? Atau mendadak mogok tanpa sebab? Atau mesin tiba-tiba mengepulkan asap? Atau tersangkut di tengah jembatan kayu? Atau tiba-tiba saja tertimpa pohon tumbang?
Kepada siapa akan meminta tolong?
Tidak ada sinyal, tidak ada yang bisa ditelepon. Tidak ada mobil derek, tidak ada mobil polisi yang lewat. Tidak ada bengkel, tidak ada GardaOto, tidak ada Rent-A-Car. Masih untung kalau di dekat-dekat situ ada camp penebang atau regu survey, bisa dimintai tolong untuk sekedar membantu menarik kendaraan. Kalau tidak ada siapa-siapa?



Maka hanya usaha terus menerus dan tak kenal lelah yang bisa dilakukan sang supir. Dengan berbagai cara harus bisa keluar dari kubangan atau menstarter kendaraannya kembali. Usaha itu biasanya berhasil, terutama bagi supir senior yang sudah terbiasa menghadapi keadaan. Tapi terkadang gagal.


Kalau sudah begitu, menunggu adalah satu-satunya pilihan. Biasanya akan ada unit lain yang menyusuri jalan angkutan kalau ada kendaraan yang tidak sampai ke tujuan atau dilaporkan tidak kembali ke pangkalan. Selama menunggu, supir yang kendaraannya terjebak masalah, bisa mengisi waktu dengan tidur atau memandangi langit luas di atasnya....

Kamis, 26 Mei 2011

Gelombang (Tanpa) Cinta

Jalan-jalan di hutan kadang memang mengejutkan. Suka ketemu hal-hal yang tidak terduga. Seperti misalnya mendengar suara-suara satwa yang aneh-aneh, menemukan kondisi alam yang jarang diberitakan, atau melihat tumbuh-tumbuhan berbagai bentuk dan berbagai ukuran. Hutan alam menyimpan bukan hanya pohon-pohon berukuran besar, tapi juga tumbuhan non kayu yang daunnya lebar-lebar. Seperti yang fotonya terlihat berikut ini.

Kalau tidak salah tumbuhan inilah yang dinamakan sente (Alocasia macrorrhiza) sejenis talas raksasa. Jadi masih ada hubungan kekerabatan dengan talas bogor (Colocasia esculenta). Di daerah Parung, daun talas sente populer sebagai pakan gurami. Caranya dengan dilemparkan utuh-utuh ke tengah kolam begitu saja, dan si gurami akan menggerogotinya sampai tinggal tulang daunnya.


Salah seorang yang ikut saya berkomentar, bahwa pohon talas sente itu juga bisa jadi tren tanaman hias baru kalau dipublikasikan secara benar. “Liat saja daunnya, mirip gelombang cinta kan? Kalau gelombang cinta bisa berharga jutaan, kenapa sente tidak?”

“Betul juga ya?” kami mengangguk-angguk membenarkan. Dan akhirnya sepakat mengambil beberapa anakannya untuk dibudidayakan di persemaian. Karena nama sente terdengar kurang gaul, maka kami memberikan julukan bagi tanaman itu dengan nama : Gelombang (Tanpa) Cinta ....

Sabtu, 30 April 2011

Tetap Bugar di Tengah Rimba

Bagi sebagian besar orang, kehidupan di tengah hutan seringkali dibayangkan serba menyeramkan. Komentar pertama yang sering saya dengar saat seseorang tahu bahwa saya bekerja di tengah hutan adalah, “Ih, serem ya Mas? Banyak ularnya ya Mas?”

Komentar itu tidak sepenuhnya salah, meski juga tidak sepenuhnya benar.
Kehidupan di tengah belantara, meski terpencil dari mana-mana, tetap saja memiliki fasilitas yang memadai. Tidak ada bedanya dengan sebuah komplek perusahaan. Ada kantor, ada bengkel, ada perumahan karyawan, ada sarana ibadah, bahkan juga sarana berolahraga.

Kurangnya sarana rekreasi menjadikan olahraga menjadi salah satu alternatif untuk relaksasi. Hampir di setiap base camp selalu memiliki lapangan luas di tengah-tengahnya. Di lapangan itulah para karyawan – dan terutama para istri karyawan, ini uniknya – mengisi saat-saat senggang dengan berolahraga.



Meski lapangannya bisa untuk sepakbola, tapi olahraga yang paling populer justru volley ball. Alasannya karena lapangan volley tidak terlalu luas, murah meriah, dan jumlah pemain yang enam orang tidak sulit dikumpulkan. Cukup dengan satu bola dan sepatu apa adanya, mereka dapat berolahraga sambil bergembira sambil mengusir kepenatan kerja.


Ibu-ibu istri karyawan biasanya mulai berkumpul pukul empat sore. Pukul setengah lima biasanya suara riuh dan tepukan mulai menggema. Lewat pukul lima sore – yang merupakan akhir jam kerja – suasana di lapangan volley tambah rame. Karyawati putri ikut bergabung. Disusul karyawan pria membentuk sesi pertandingan tersendiri di lapangan lainnya.


Tidak ada aturan yang membatasi regu pemain. Siapa pun boleh bergabung selama masih ada tempat. Bahkan bagi yang tidak hobi bermain volli pun, datang ke lapangan merupakan hiburan tersendiri. Setidaknya bisa memanjakan mata dan sama-sama mendapatkan manfaat dari olahraga. Sehat jasmani, sehat rohani....

Selasa, 05 April 2011

Camp Tarik


Pernah mendengar istilah camp tarik? 
Camp tarik adalah sebutan buat rumah-rumah pekerja yang berada di tengah hutan. Setiap satu camp tarik biasanya dihuni satu orang operator buldoser, dua operator chainsaw, satu tukang kupas, satu juru ukur, satu surveyor, dan kadang ada juga tukang masaknya.
Masing-masing punya tugas dan tanggungjawab sendiri.

Urutan pekerjaannya begini. Operator chainsaw menebang pohon sesuai kriteria yang diijinkan. Setelah pohon tumbang, operator buldoser menariknya ke tempat pengumpulan. (Kalau di HPH istilahnya TPN alias tempat pengumpulan). Juru ukur mengukur dimensi batang yang sudah dipotong-potong, berapa diameternya, berapa panjangnya, berapa kubikasinya, dan mencatatnya dalam buku ukur sebagai bahan laporan.
Kalau tukang kupas, tugasnya mengupas kulit kayu agar tidak diserang hama serangga bubuk. Jadi tugasnya menjaga kualitas kayu tetap baik. Sementara surveyor bertugas mengawasi dan menunjukkan lokasi lebang yang diijinkan. Soalnya kalau tidak diawasi, penebangan suka melebar ke arah yang salah. Lokasi tebang sudah ada ijinnya masing-masing dan diperbarui setiap tahun dalam bentuk RKT (Rencana Kerja Tahunan). Sebetulnya batas lokasi tebang sudah ditandai dengan rintisan jalur dan cat merah. Tapi tahu sendirilah, operator chainsaw ngeliatnya ke atas terus. Jadi batasnya suka terlewati.



Disebut camp tarik karena bangunannya memang bisa ditarik-tarik. Artinya bisa dipindah-pindah sesuai kebutuhan mengikuti lokasi tebangnya. Bentuknya berupa rumah papan yang dibangun di atas dua bantalan kayu bulat. Kalau lokasi penebangan berpindah, bantalan tinggal diikat dengan sling (kawat baja) dan ditarik oleh buldoser. Mirip seperti karavan tapi lebih primitif karena tidak pakai roda.

Belakangan proses menarik ini dianggap kurang praktis karena selain merusak jalan, juga merusak bangunan itu sendiri. Bayangkan camp tarik yang beberapa kali berpindah tempat, saat ditarik siku-siku bangunannya banyak yang bergeser. Perlahan tapi pasti, guncangan sepanjang perjalanan bisa menghancurkan rumah itu sendiri.

Sekarang rumahnya tidak ditarik tapi dimuatkan di atas logging truck alias truk pengangkut kayu. Dengan cara begitu rumah jadi lebih awet, jalan jadi lebih terawat, dan penghuninya bisa tetap berada di tempat karena guncangan tidak terlalu keras. Tapi meski proses perpindahannya tidak lagi ditarik, rumah-rumah semacam itu tetap saja populer sebagai camp tarik....

Kamis, 10 Maret 2011

Saat Musim Hujan Tiba....





Apa yang paling dirisaukan pekerja di hutan?
Musim hujan!
Karena pada musim hujan, tidak ada yang bisa dikerjakan. Cuaca buruk dan kondisi jalan yang licin menjadi kendala. Operasi penebangan tidak aman dilaksanakan karena angin kencang bisa merubah arah jatuhnya pohon. Operasi pengangkutan juga tidak mungkin dilakukan karena jalan menjadi licin dan penuh resiko. 

Mulai dari resiko terpuruk, 
 

Atau hujan berhari-hari yang bisa membuat mobil terbenam lumpur, 



 





Jadi, apa yang paling disukai pekerja di hutan?
Musim hujan juga! 
Karena musim hujan identik dengan libur panjang. Identik dengan istirahat sampai cuaca menjadi kondusif. Identik dengan minum kopi dan main catur, sampai cuaca cerah kembali…