Selasa, 25 Oktober 2011

Jembatan Kahayan, Ikon Palangka Raya



 Ada rencana berjalan-jalan ke kota Palangka Raya?

Kalau ada, sempatkan melihat Jembatan Kahayan. Itulah jembatan yang melintasi Sungai Kahayan di Kota Palangkaraya. Jembatan sepanjang 640 meter dengan lebar 9 meter itu sudah menjadi ikon Palangka Raya. Dari panjang enam ratusan meter itu, 150 meter berada persis di atas jalur pelayaran sungai.
Jembatan ini dibangun pada tahun 1995 dan selesai pada tahun 2001. Diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 13 Januari 2002, Jembatan Kahayan menghubungkan Palangkaraya dengan dengan Kabupaten Barito Selatan dan tembus ke Kabupaten Barito Utara


Selain sebagai sarana penghubung transportasi, Jembatan Kahayan juga jadi ajang kumpul-kumpul para remaja di sana. Hampir setiap sabtu dan minggu sore – jika cuaca cerah – puluhan remaja memarkir sepeda motornya dan duduk-duduk di sepanjang pembatas jembatan.



Tentunya menyenangkan sekali melihat polah remaja dengan berbagai tingkah dan gayanya. Jangan heran lho kalau busana dan hape mereka mengikuti trend. Meski jauh di Kalimantan sana, urusan mode dan gaya hidup tidak kalah dengan kota besar lainnya. Kalau sedang beruntung, kita juga bisa melihat atlit-atlit dayung berlatih di tepian sungai. Atau melihat nelayan setempat mencari ikan. Panorama kota pada saat senja juga menjadi sajian menarik lainnya.

Jadi, kapan jalan-jalan ke Palangka Raya? 

Minggu, 02 Oktober 2011

Berlebaran di berbagai Pelosok Nusantara

Bersekolah di SPMAN Bogor merupakan saat pertama kalinya merantau. Sejak itulah saya hidup terpisah dari keluarga. Dan hal itu ternyata terus berlanjut, karena kemudian saya kuliah di Bandung, diteruskan dengan bekerja berpindah-pindah tempat hampir di seluruh pelosok nusantara..
Kadang-kadang – karena satu dan lain sebab – saya tidak bisa pulang untuk berlebaran bersama keluarga. Suatu kenyataan yang sebenarnya menyedihkan tapi tetap harus dijalani. Kebiasaan dan tradisi berlebaran yang berbeda-beda di banyak tempat, merupakan pengalaman menarik seperti bisa dibaca berikut ini.


Tahun 1989 di Pontianak. Ini pertama kalinya saya merantau ke luar Jawa, ke sebuah perusahaan kayu di wilayah Kalimantan Barat. Karena hampir sebagian besar penghuni camp pulang kampung, kami (saya dan dua rekan seangkatan) ikut-ikutan turun ke Pontianak. Tiba di sana tepat saat beduk dan takbir mengalun di mana-mana. Karena tidak punya sanak saudara, kami menginap di Hotel Patria. Keesokan harinya mengikuti Sholat Ied di sebuah lapangan yang sudah lupa namanya. Usai sholat, karena tidak tahu harus ke mana, kami menghabiskan waktu seharian dengan tidur-tiduran dan nonton tivi di kamar hotel. Sore harinya jalan kaki ke kantor telkom untuk mengirim telegram ke rumah orangtua....

Tahun 1992 berlebaran di Base Camp di Sumatera Utara. Waktu itu baru mulai bekerja sekitar empat bulan, jadi tidak mendapat ijin cuti. Suasana sunyi di tengah hutan menjadi terasa sekali, karena dari seratusan karyawan, hanya kami berenam yang tidak bisa cuti.
Bayangkan, enam orang di tengah hutan belantara!
Kami yang tadinya tidur di tempat terpisah, akhirnya berkumpul di salah satu rumah. Karena tidak ada kegiatan operasional, kemana-mana selalu berenam. Begitu juga saat mandi di sungai, memasak, makan, tidur, dan nonton tivi bareng-bareng. Selalu berenam, selalu bersama-sama....

Tahun 1994 di sebuah kampung kecil bernama Teluk Balai. Kampung itu berada di pesisir pantai barat Sumatera. Bersama beberapa rekan yang tidak cuti, kami berangkat ke mesjid setempat. Sampai di sana mesjid sudah tiga perempat penuh. Jemaah duduk bershaf-shaf dan melantunkan sholawat. Sampai pukul delapan belum ada tanda-tanda dimulainya sholat Ied. Jemaah terus menerus melantunkan shalawat tanpa putus.
Sekitar pukul setengah sembilan, terdengar suara sepeda motor butut memasuki halaman mesjid. Suaranya yang ‘cempreng’ dan tidak enak membuat sebagian besar jemaah menoleh keluar. Beberapa bahkan bangkit berdiri menemui pengendara motor. Suara cempreng belum berhenti saat pengendara di atasnya berkata lantang: “Lebaran hari ini!”
Terdengar seruan alhamdullilah dari berbagai sudut. Beduk dipukul, adzan dikumandangkan, dan sholat Ied berjamaah pun dimulai. Rupanya si pengendara sepeda motor adalah pengurus mesjid yang berangkat sejak subuh ke mesjid kecamatan (jaraknya sekitar 33 Km dari kampung tersebut) untuk menanyakan kepastian pelaksanaan lebaran....

Tahun 1997 di Sibolga. Sholat Ied dilaksanakan di Lapangan Simare-mare yang berada persis di tengah kota. Jemaah datang menggelar tikar masing-masing di atas rumput yang setengah basah oleh sisa gerimis malam sebelumnya. Tidak ada yang istimewa dalam pelaksanaan sholat. Imam dan Khotib dirangkap oleh seorang pemuka agama yang jelas sekali berasal dari aparat TNI. Jumlah peserta pun tidak begitu banyak, terbagi dalam empat shaf jemaah pria dan dua shaf jemaah wanita di barisan belakangnya. Yang mengejutkan, segera setelah sholat dua rakaat selesai, jemaah wanita merapikan atribut sholatnya dan satu persatu meninggalkan lapangan. Acara khutbah hanya diikuti oleh jemaah pria....

Tahun 1999 di Desa Tabuyung, sebuah desa di pesisir barat Sumatera, sekitar sebelas kilometer sebelah utara Teluk Balai. Di desa itu ritual bermaaf-maafan ternyata sudah dimulai sejak pagi hari. Usai sholat subuh pertama di Bulan Syawal, masyarakat desa saling bermaaf-maafan. Diawali dari mesjid utama, dilanjutkan di sepanjang lorong perkampungan dan rumah-rumah penduduk.
Sholat Ied dilaksanakan selepas fajar menyingsing. Pemandangan unik terlihat dari beberapa jemaah pria yang hadir di halaman mesjid dengan jubah menjuntai sampai mata kaki, lengan panjang, sorban menutup kepala disertai ikat kepala manik-manik. bagaikan pangeran-pangeran dari negeri Arab!
Ternyata hal itu merupakan semacan kebiasaan di sana. Warga kampung yang sudah pernah menunaikan ibadah haji, akan tampil pada sholat Ied dengan busana lengkap bak sedang berada di padang pasir. Dengan demikian akan terlihat dengan jelas siapa-siapa saja yang sudah pernah berangkat ke tanah suci. Tradisi yang sama juga dilakukan saat sholat Idul Adha....

Tahun 2003 di Sawangan. Ini lebaran pertama setelah lama merantau di luar Jawa. Perumahan tempat tinggal kami memiliki musholla, sementara pelaksanaan Ied dilakukan di mesjid besar dekat kelurahan. Tidak ada yang istimewa dengan pelaksanaan Ied di mesjid besar. Setelah sholat Ied usai, kami warga perumahan berkumpul kembali di musholla. Acara utamanya adalah saling bermaaf-maafan antar warga. Dengan demikian, warga tidak perlu lagi saling mengunjungi karena semua sudah bertemu di musholla.
Di perumahan kami sekitar 25% adalah warga non-muslim. Pada saat kami bermaaf-maafan di musholla, warga nasrani juga bergegas ke musholla membentuk semacam barisan panjang di halaman musholla. Jadi begitu warga muslim selesai bersalam-salaman, di luar musholla warga nasrani juga menyambut dengan acara saling bermaaf-maafan.
Dari tahun ke tahun, antrian di luar musholla semakin panjang, bahkan sampai luber ke jalan utama. Ini dimungkinkan karena jumlah muslimin terus bertambah, jumlah nasrani juga tidak berkurang. Tradisi itu masih dilakukan sampai sekarang....

Tahun 2006 di Fakfak - Papua. Karena kesulitan mendapatkan tiket pesawat, saya terpaksa berlebaran di Tanah Papua. Bersama tiga rekan kerja senasib dari Jakarta, kami menginap di Hotel Fakfak yang memiliki pemandangan ke laut lepas. Sebagai kota yang baru berkembang, Fakfak membangun Mesjid Raya di atas perbukitan yang juga menghadap ke laut lepas. Bersama warga muslim lainnya yang kebanyakan berasal dari Jawa dan Sulawesi, kami melaksanakan sholat Ied berlatar belakang lautan biru membentang dan diiringi semilir angin laut.
Seusai sholat Ied, pemilik hotel yang ternyata perantau dari Ujungpandang, mengundang kami untuk makan bersama di ruang tamu. Di situlah pertama kalinya saya merasakan nikmatnya Coto Makassar, Sop Konro, dan Es Pallu Butung....

Tahun 2008 saya memutuskan berlebaran di Pangkalan Bun. Bukan karena tidak kebagian tiket, tapi karena ingin menikmati suasana Idul Fitri di Kalimantan Tengah. Ritual sholat Ied idak banyak berbeda dengan di daerah lain. Yang menarik adalah: pada hari kedua lebaran, pemakaman umum berubah laksana pasar. Rupanya di sana, hari kedua lebaran adalah hari untuk mendoakan arwah keluarga yang sudah mendahului kembali ke alam baka. Yang datang ke pemakaman bukan hanya pelayat beserta keluarganya, tetapi juga pedagang kagetan yang menggelar berbagai macam barang di sepanjang jalan. Mulai dari penjual bunga rampai, bakso, mie ayam, mainan anak-anak, air mineral dan rokok, sampai penjual asesoris berkumpul di sana.
Selepas tengah hari, suasana kota tampak kosong dan sepi. Sebagian besar warga rame-rame berkunjung ke Pantai Kubu, salah satu tempat wisata populer di Pangkalan Bun....