Senin, 03 Desember 2012

Jangan Lupa Bawa Sinyal ….


 

Jual hape?
Bukan. Gambar itu bukan diambil di konter hape melainkan di teras barak pekerja camp. Penempatan hape tersebut juga bukan berarti pemiliknya memajang karena hape-nya basah atau sebab lain. Ini menandakan bahwa di tempat tersebut ada sinyal yang bisa digunakan untuk berkomunikasi. Rak kayu sengaja dibuat untuk memudahkan menempatkan hape. Karena apabila hape dipindah, sinyalnya bisa saja menghilang. Jangankan dipindah, bergesar tempat saja kadang sinyalnya langsung berkurang menjadi tinggal satu atau dua bar.



Gambar tersebut diambil di salah satu camp yang kebetulan letaknya tidak jauh dari pemukiman atau tower BTS. Di camp-camp yang lain, yang jauh dari pemukiman, karyawannya harus bersabar hati jika ingin berkomunikasi. Yang menarik adalah, meskipun di beberapa camp terdapat sinyal, jangkauannya kadang berupa spot-spot yang menyebar. Di dalam spot itulah sinyal bisa ditangkap, dan luasnya kadang hanya radius dua atau tiga meter saja. Menjauh dari titik tersebut sinyal mendadak blank. Tidak usah heran jika melihat ada yang bertelepon sambil berjalan hilir mudik ke sana ke mari. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan penangkapan sinyal yang lebih baik. Tidak masalah jika untuk itu harus berjalan merunduk-runduk, atau duduk dengan posisi canggung. Yang penting suara jelas dan komunikasi lancar.







Ada salah satu base camp yang beruntung memiliki tiga spot sinyal. Satu di kantor, satu di persemaian, satu lagi di depan dapur umum. Sinyal yang ada di kantor berada di jendela belakang. Itu sebabnya di sana karyawan menempatkan hape-nya masing-masing sehingga kalau ada nada sms atau telpon masuk bisa langsung terdengar. Begitu terdengar nada sambung, hampir semua karyawan menoleh. Kalau nada sambungnya khas, dengan segera pemilik hape akan bergegas. Kalau nada sambungnya sama (kadang mereka tidak mengubah nada default), yang merasa memiliki nada tersebut juga menoleh untuk memastikan hape siapa yang berbunyi. Kalau ternyata ruang kerja pemilik hape berada jauh dari jendela belakang, maka segera terdengar teriakan mendayu, “Hetiiiiiiiii …… Telepoooooon ….” Maka Si Heti akan bergegas meninggalkan meja kerjanya, berpacu dengan waktu agar nada panggil tidak keburu berhenti.


Juga menjadi pemandangan menarik ketika malam hari seusai jam makan, halaman dapur umum dipenuhi karyawan yang hendak menelpon. Waktu pertama kali berada di sana, saya sempat heran melihat kerumunan begitu banyak orang, menunduk-nunduk seperti mencari sesuatu yang jatuh di tanah. “Lagi nyari sinyal, Om….” kata seseorang menjelaskan. “O begitu…”, kata saya dalam hati. “Kirain lagi nyari laron…” Sebetulnya di persemaian juga ada sinyal tapi tempatnya lumayan jauh. Selain itu nyamuknya juga minta ampun, pada berebutan ingin ikut bertelepon ria.



Karena itu, jika Anda berencana berkunjung ke base camp yang tidak memiliki akses sinyal, ingatlah selalu akan dua hal. Pertama, lupakan untuk bertelepon ria selama berada di sana. Atau, jika kebutuhan bertelepon tidak bisa dihindari, jangan lupa untuk membeli sinyal di konter terdekat …  

Sabtu, 27 Oktober 2012

Mari Menghibur Diri di Base Camp ....

“Jika ada yang bilang hidup di camp itu menyenangkan, kemungkinan besar dia sedang stress. Tapi jika kita tidak bisa menciptakan suasana yang menyenangkan saat berada di camp, kita pun dipastikan bakal stress....” 

Demikian salah satu pepatah yang berlaku di camp. Entah siapa yang mengatakan, entah betul atau tidak, pepatah itu mempunyai makna bahwa betah tidaknya kita di camp tergantung dari kemampuan kita sendiri dalam menghadapi keadaan. Jika kita dari awal sudah melihat camp sebagai tempat yang menyiksa – misalnya jauh dari mana-mana, hiburan susah, apa-apa mahal, sinyal tidak ada, suasana monoton, dan lain-lain – maka bisa dipastikan kita tidak akan betah berlama-lama tinggal di camp. Tapi jika sejak awal kita melihat camp sebagai tempat yang menyenangkan – misalnya udaranya segar, airnya jernih, ikan sungai tidak perlu beli, daging rusa tinggal dicari, jauh dari polusi, bebas dari agen asuransi, tidak ada yang minta sumbangan, tidak ada pengamen, tidak perlu bawa dompet kemana-mana – maka suasana sepi dan terisolir memiliki makna yang berbeda. Banyak cara yang bisa dilakukan, dan ini sangat tergantung pada minat dan hobi masing-masing. Berikut adalah beberapa bentuk hiburan – dan cara menghibur diri sendiri – yang selama ini dilakukan para campmania.

1. Nonton Tivi. Ini pilihan yang paling umum di camp. Pulang kerja pukul 17.00, mandi dan makan malam, setelah itu duduk manis di depan tivi. Bisa di ruang tv umum yang disediakan perusahaan, bisa nonton di rumah masing-masing. Dengan bantuan parabola 12 feet semua saluran dapat tampil. Bukan hanya saluran tivi nasional seperti TV-One atau RCTI, tapi juga saluran tivi daerah seperti JatimTV, BaliTV, atau TV Papua. Siaran tivi asing juga tidak masalah. Al-Jazeera, NHK, ataupun siaran berbahasa portugal dengan mudah bisa diakses meski mungkin hanya dipahami gambarnya saja. Langganan tivi kabel juga bisa kalau mau.



2. Memelihara burung. Bagi penggemar burung berkicau, camp memanjakan penghuninya dengan beberapa jenis burung yang sudah dikenal memiliki suara merdu. Yang umum dipelihara adalah kelompok burung dari genus Copysychus sp. seperti murai batu yang kecoklatan, murai daun yang berwarna hijau, atau kacer yang bulunya hitam putih. Burung – baik anakan maupun dewasa – dapat dipesan dari para operator chainsaw yang setiap hari berada di hutan. Kadang-kadang ada juga masyarakat sekitar yang masuk hutan dengan tujuan berburu burung. Biasanya mereka menggunakan burung yang sudah pintar berkicau untuk memikat burung yang masih liar. Maka sangkar burung pun menjadi hiasan teras, berjejer di sepanjang barak pekerja. Merupakan pemandangan yang biasa ketika di pagi hari para burungmania membersihkan sangkar dan mengganti air minum, sementara mereka sendiri mungkin belum sempat mandi....

 
3. Memancing. Ini juga pilihan bagi yang hobi memancing. Hutan menyediakan sungai dan kantung-kantung air untuk dimanfaatkan sebagai arena memancing. Kantung-kantung air itu – di sana disebut embung – bisa berupa rawa tergenang, bisa juga merupakan danau dengan debit air tidak terlalu besar. Ikan-ikan yang umum diperoleh dari sana adalah baung (Mystus wyckii), lele (Clarias nieuhofii), atau pepuyu (sejenis sepat). Di hutan tersedia sungai dengan air jernih mengalir tanpa henti dengan berbagai jenis ikan di dalamnya. Banyak macamnya, mulai dari ikan somah (Tor tambra), barakas (Cylocheilichthys sp.), dan entah apa lagi yang bentuknya menyerupai karper (Cyprinus sp.). Cara mencarinya dengan dipancing atau dijala. Sebetulnya paling praktis dengan ditombak saat malam hari. Tapi di hulu-hulu sungai Kalimantan, cara itu kurang populer karena masih terdapatnya buaya yang kadang terlihat di palung-palung sungai.

 

4. Pesta Duren. Setiap tahun – biasanya antara november sampai februari – adalah musim duren. Pohon duren – baik yang tumbuh liar maupun yang ditanam masyarakat – berbuah serentak. Sebagian dikirim ke kota, sebagian ditawarkan kepada pekerja camp. Untuk duren seukuran buah kelapa, pada awal-awal musim dihargai antara 10 ribu sampai 20 ribu sebuah. Tapi semakin membanjir produksi duren, semakin murah harga yang ditawarkan. Itulah saatnya para pekerja camp menikmati pesta duren. Satu karung duren berisi 20 butir kadang hanya dihargai 50 ribu rupiah. Karena duren cenderung meningkatkan tekanan darah, kami biasanya memakan rame-rame. Pertama untuk membagi rata resiko naiknya tensi. Kedua kalau besoknya ada yang demam karena kebanyakan duren setidaknya tidak sendirian.... 

 5. Nonton Bareng. Istilah nobar bukan hanya terdapat di kota-kota saja. Di camp pun pekerja bisa menikmati acara nonton bareng. Kalau sudah memasuki musim Piala Dunia atau Piala Eropa, jadwal pertandingan menjadi acuan yang berharga. Dengan bantuan InFokus, tayangan dari tivi disalurkan ke layar putih yang dibentangkan di halaman. Penonton tinggal memilih tempat duduk, membawa sendiri kopi atau cemilan, bisa sambil berkerudung sarung, bisa sambil merokok, bisa sambil menepuk agas (sejenis nyamuk berukuran halus) yang kadang iseng mengganggu....


6. Jalan-jalan ke air terjun. Hutan menyediakan potensi alam yang kadang tidak terduga. Air terjun, misalnya. Di sana air terjun bisa dinikmati lengkap dengan batu-batu dan ular di antaranya. Maka berjalan-jalan menikmati air terjun menjadi salah satu pilihan mengisi waktu luang. Padahal yang bisa dilakukan di sana paling-paling ya hanya duduk-duduk di atas batu, mandi atau bermain air, berfoto-foto, atau sekedar makan siang bersama, tapi tetaplah menyenangkan sebagai selingan. Yang menjadi masalah adalah lokasi air terjun kadang berada jauh di tengah hutan. Untuk mencapai ke sana kita harus berjalan menyusuri jalan setapak atau tepian sungai sejauh satu atau dua kilometer. Menyenangkan bagi yang gemar berpetualang karena sepanjang jalan bisa menikmati suara air, bau daun segar, kicau burung, atau lengkingan monyet di ketinggian. Agak merepotkan bagi yang tidak terbiasa berpetualang karena lintah pacet dan serangga penyengat seringkali ikut menemani perjalanan.


7. Panggung Dangdut. Hiburan yang satu biasanya diadakan setahun sekali pada malam pergantian tahun. Panggung dibangun mendadak dengan drum kosong sebagai landasan, lembaran papan sebagai lantai, dan terpal sebagai atapnya. Artis yang tampil pun hanya organ tunggal dengan dua atau tiga orang penyanyi lokal berpakaian seronok. Koleksi lagu-lagunya didominasi dangdut koplo. Lumayanlah untuk sekedar mengusir penat, melupakan kerja keras selama setahun terakhir, dan berharap tahun depan hasil yang diperoleh bisa lebih baik lagi....  

Sabtu, 06 Oktober 2012

Tugu Pak Tani Dari Pangkalan Lada


Pangkalan Lada hanyalah salah satu dari enam kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat. Jaraknya sekitar 35 Km sebelah timur Pangkalan Bun. Jika kita berkendaraan dari Pangkalan Bun menuju kota Sampit, kita pasti melewati kecamatan tersebut. Ada yang menarik dari tempat tersebut. Persis di tikungan jalan, berdiri bunderan dengan monumen dan patung Pak Tani di atasnya. Patung tersebut menggambarkan seorang petani memakai singlet, berdiri gagah memegang cangkul di tangan kiri, sementara tangan kanan menunjuk ke arah timur alias ke arah kota Sampit atau Palangka Raya, seolah-olah berkata: “Belilah cangkul di Sampit! Apa maksudnya? Apakah ini berarti sang petani berkata, “Tidak usah bertani di sini, pergilah ke Sampit!” Atau, “Jangan bertani di sini, carilah lahan di luar kota!” Atau, “Kalau ke Sampit ke arah sana!” Atau ....


Makna di balik patung itu masih bisa diperdebatkan, dan kemungkinannya cukup banyak. Tapi lepas dari semua itu, Kecamatan Pangkalan Lada yang luasnya sekitar 229 Km2 dan terdiri dari 11 desa itu memang dikenal sebagai sentra kawasan pertanian. Bahkan pada masa aktifnya Bupati Ujang Iskandar, pernah terdengar kabar kecamatan tersebut akan dijadikan sentra produksi jagung. Sekitar 15 Km sebelum patung tersebut, kini sudah berdiri bunderan dengan tugu dan patung jagung di puncaknya. Rencana tersebut bukan tidak mungkin terlaksana. Dengan jumlah penduduk sekitar 22.000 jiwa dan sebagian besar hidup sebagai petani, ditambah lagi sekitar 413 Ha wilayahnya merupakan lahan kering yang ditanami jagung, berdirinya monumen jagung bukan hanya sekedar simbol.

Bayangkan jika dari Kecamatan Pangkalan Lada bisa dihasilkan sampai 1.500 ton jagung per tahun, kemudian kedai-kedai berjejer di sepanjang jalan menjajakan jagung segar dan berbagai bentuk olahannya. Sambil menikmati jagung bakar, kita bisa menatap patung Pak Tani di atas monumen dan berargumentasi sendiri, “Kenapa membeli cangkul harus ke Sampit?”  

Jumat, 31 Agustus 2012

Hujan Lagi, Hujan Lagi....


Seperti yang sudah pernah diceritakan sebelumnya, hujan adalah musuh utama pekerja di hutan. Pada saat hujan turun, semua aktifitas secara spontan dihentikan. Dan ini berlaku mulai dari ujung kegiatan (di tengah hutan) sampai ke ujung lainnya (di logpond atau logyard).

Aktifitas di base camp terbatas hanya di kantor dan bengkel saja, itu pun pada saat jam kerja. Di luar itu bisa dikatakan libur total. Apalagi kalau hujan turun berkepanjangan sampai malam hari, wah, makin bete saja penghuni camp. Keluar rumah tidak bisa, nonton tivi kadang suaranya kalah oleh gemuruh hujan – karena umumnya bangunan camp menggunakan atap seng. Belum lagi kalau posisi base camp berada di tempat rendah. Meski berada di ketinggian, banjir mungkin saja terjadi. 


Para penebang atau chainsaw man dilarang melakukan kegiatan penebangan karena hujan dan angin bisa mengubah arah jatuhnya pohon. Ini akan menimbulkan resiko kecelakaan bagi pekerja. Belum lagi tanah yang licin dapat menyulitkan operator saat menghindari berubahnya arah rebah.
Unit kendaraan berat seperti Logging Truck yang mengangkut log juga dilarang beroperasi saat jalanan basah. Secara teknis, kendaraan bisa saja dioperasikan, tapi dampaknya akan merusak jalan. Memperbaiki jaringan jalan yang rusak jauh lebih merepotkan daripada membuka jalan baru. Karena itu apabila mendadak hujan turun, operator logging truck harus menghentikan kendaraannya. Jika posisinya kurang strategis – misalnya pada tanjakan atau turunan – bisa mencari tempat yang lebih stabil. Kemudian menunggu sampai ada unit kecil datang menjemput. Apabila kondisi cuaca sudah memungkinkan, supir akan diantar oleh unit kecil untuk melanjutkan perjalanan.


Unit kecil seperti Strada, Triton atau L200 tidak begitu terpengaruh dengan jalan licin karena mereka dilengkapi Double Gardan yang memang diperuntukkan bagi medan berat. Selama tidak keluar dari bahu jalan, tidak apa-apa. Masalah akan timbul kalau ada unit besar yang terpuruk melintang jalan, karena otomatis jalur di belakangnya akan terhambat.


Juga perlu diwaspadai apabila jalur jalan melintasi sungai berbatu. Naiknya permukaan air akibat hujan di hulu sungai dapat menghadirkan banjir bandang yang bisa menghanyutkan kendaraan kecil. Permasalahan semakin bertambah karena kendaraan generasi terbaru hampir semuanya dioperasikan secara elektris. Dalam beberapa kasus, tekanan air dari luar secara otomatis membuat semua fungsi kendaraan terkunci. Karena itu bagi penumpang unit kecil pada saat menyeberangi sungai dianjurkan untuk tetap membuka jendela samping. Ini untuk berjaga-jaga agar penumpang bisa segera keluar menyelamatkan diri jika unit terseret air....
 

Minggu, 01 Juli 2012

Ada Penanaman Setelah Penebangan

Dalam dunia HPH, ada tiga macam kegiatan penanaman.

Penjelasan ini perlu untuk menghindari terjadinya salah pengertian. Ada anggapan bahwa HPH menebang habis semua pohon yang ada di hutan. Pada kenyataannya hanya pohon dengan diameter tertentu yang diijinkan ditebang. Secara umum HPH hanya diijinkan menebang pohon dengan diameter di atas 50 Cm. Diameter di bawahnya harus ditinggalkan untuk ‘tabungan’ pada rotasi tebang berikutnya.

Begitu juga dengan kegiatan penanaman. Ada anggapan bahwa seluruh areal yang telah ditebang harus ditanami lagi. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Yang harus ditanami hanya areal yang betul-betul terbuka dan tidak memiliki anakan alami. Areal yang betul-betul terbuka biasanya berada di sepanjang jalan angkutan dan di bekas tempat pengumpulan kayu. Di situlah ditanami bibit jenis tanaman kehutanan seperti meranti, bengkirai, atau keruing dengan jarak tanam 3 x 3 meter. Kegiatannya sendiri disebut Penanaman Kiri Kanan Jalan.


Hutan bekas areal penebangan juga harus ditanami lho! Apalagi jika jumlah anakan yang ada dirasakan kurang. Kurangnya anakan itu bisa terjadi karena hutannya dibuka untuk pembuatan jalan angkutan, bisa karena mati akibat proses penebangan itu sendiri. Pernah ada penelitian yang menyebutkan bahwa setiap kali sebatang pohon berdiameter 50 Cm ditebang, ada sekitar 17 anakan yang mati karena tertimpa. Peraturan kehutanan juga pernah mensyaratkan minimal terdapat 25 anakan dalam setiap hektar apabila perusahaan ingin dibebaskan dari kewajiban menanami kembali hutannya.
 
Dalam kenyataannya jumlah anakan di bawah tegakan sangat banyak jumlahnya. Mendapatkan 25 anakan – terlebih dari tingkat semai – bukanlah hal yang sulit. Alih-alih menanami kembali, perusahaan akhirnya memelihara saja anakan yang ada. Lebih praktis, lebih murah, dan lebih terjamin pertumbuhannya daripada harus ditanam sendiri. Kegiatannya sendiri dikenal sebagai Pengayaan karena tujuannya memang untuk memperkaya jumlah dan jenis anakan yang sudah ada.



Selain itu ada lagi yang disebut Penanaman Tanah Kosong atau Penanaman Areal Non Produktif. Sesuai dengan namanya, areal tersebut memang kosong dalam arti tidak memiliki potensi apa-apa. Areal semacam itu dapat berupa semak belukar, hutan muda, atau lokasi terbuka yang dijadikan sarana dan prasarana camp.

Jenis pohon yang ditanami tergantung lokasi. Kalau berada di dalam kawasan hutan yang ditanam adalah bibit tanaman kehutanan. Tapi kalau berada dalam areal non produktif, bisa ditanami tanaman pelindung yang cepat tumbuh semisal sengon, sungkai, jabon, atau mahoni. Bisa juga ditanami pohon buah-buahan. Dalam dunia kehutanan pohon-pohon jenis terakhir biasa disebut dengan tanaman MPTS alias Multi Purposed Trees Species. 



Untuk keperluan itu perusahaan membangun persemaian. Ada yang dibuat di bawah tegakan alam, ada juga yang menggunakan paranet atau sarlon sebagai pelindung. Untuk jenis tanaman kehutanan, bibitnya diambil dari dalam hutan. Bisa berupa biji atau pun cabutan. Karena musim berbunga hanya empat tahun sekali, perusahaan lebih mengandalkan anakan alam. Bibit-bibit muda itu (setinggi sekitar sejengkal) dicabuti dari lantai hutan, kemudian ditanam dalam polybag-polybag, untuk seterusnya dibesarkan di areal persemaian. Setelah cukup umur barulah dikirim ke lokasi-lokasi penanaman.
 
Jadi, jangan berpikir HPH itu hanya menebang saja. Selain menebang juga ada kewajiban untuk menamani kembali. Itulah sebabnya sistim kerja kami dinamakan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Sistim tadi bermakna: menebang secara selektif sesuai batas diameter minimum dan menanami kembali areal bekas penebangan. Dengan sistim tadi diharapkan hutan Indonesia dapat terjaga kelestariannya.

 

Untuk tujuan itulah, kami – khususnya para rimbawan – berada di sana....  

Senin, 23 April 2012

Diasap, Dijemur, Diasin ....




Kemampuan para pekerja hutan dalam hal berburu sudah tidak diragukan lagi. Dan kemampuan itu semakin terasah manakala mereka harus berimprovisasi terhadap persediaan bahan makanan yang terbatas. Kondisi ini semakin diuntungkan dengan banyaknya pribumi setempat yang bergabung menjadi anggota survey. Gambaran orang Dayak yang bersumpit dan membawa tombak semakin lama semakin tergeser dengan hadirnya senjata api.



Bukanlah pemandangan yang istimewa kalau kita berpapasan dengan pribumi yang menyandang senjata laras panjang di pungungnya. Itulah yang selama ini disebut-sebut dengan istilah senapan lantak atau dumdum. Senjata yang dirakit sendiri dari kayu keras sebagai popornya, dan pipa besi sebagai larasnya. Di setiap regu survey selalu ada yang memiliki senapan lantak. Dalam satu regu bahkan bisa lebih dari dua atau tiga buah. Juga bukan sesuatu yang ganjil kalau mereka membawa-bawa senapan saat bekerja menyususuri lantai hutan, berharap bertemu rusa atau kijang – atau babi pun jadilah, karena sebagian besar memang non muslim – sebagai tambahan lauk pauk.



Suara letusan yang menggema di tengah hutan menjadi tanda. Kalau letusannya hanya satu kali, kemungkinan buruannya langsung kena. Kalau sampai dua kali berurutan, kemungkinan yang pertama tidak kena dan tembakan kedua untuk memastikan. Memperoleh seekor rusa berarti pesta besar. Setidaknya untuk satu hari pertama bakal ada sup daging di tengah menu. Selebihnya, daging diasap atau dijemur setelah sebelumnya dilumuri garam. Cara tadi merupakan satu bentuk pengawetan bahan pangan untuk memperpanjang masa pakainya. Dengan menyimpan daging awetan, setidaknya untuk sekian hari ke depan, mereka tidak perlu menggerutu lagi dengan, "mie lagi, mie lagi...."



 

Minggu, 01 April 2012

Ada Tomcat di Kalimantan?


Tomcat?
Bukan, ini bukan Tomcat – serangga yang belakangan ini menjadi berita karena dikabarkan muncul dan mengganggu masyarakat di beberapa wilayah di Jawa Timur. Ini cuma sekumpulan ulat ini tanpa sengaja terlihat di belakang kantor Base Camp pada suatu pagi yang cerah beberapa bulan lalu. Bergerombol di ujung sebatang cabang pakis-pakisan.


Sebetulnya melihat ulat bukanlah pemandangan yang istimewa. Tapi yang satu ini nampak berbeda. Selain warna yang cerah dengan cincin putih persis di bagian tengah badannya, duri-duri tajamnya seolah menusuk kulit.
Tidak jelas dari spesies apa. Tidak jelas dari mana datangnya.
Dan tidak jelas juga seperti apa bentuknya setelah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu, karena besoknya gerombolan ulat itu sudah tidak ada. Jika melihat warna cerahnya, tentu kupu-kupunya juga memiliki kombinasi warna serupa. Bahkan mungkin lebih meriah dan lebih cerah tanpa duri-duri tajam di tubuhnya.


Saya menyebutnya sebagai Ulat Trojan, karena gambaran kepalanya mengingatkan saya pada kepala Kuda Troya.....

 

Jumat, 16 Maret 2012

Biji atau Buah atau Apa?



Perhatikan gambar berikut baik-baik.
Menurut Anda, itu gambar apa?
Buah rotan, sejenis buah-buahan hutan, atau mainan anak-anak?

Pada saat menemukan pertama kali, saya juga sempat mengira itu adalah buah dari tanaman merambat rotan (Calamus sp.). Tapi ternyata ‘benda’ tersebut bisa bergerak! Bisa membuka perlahan-lahan dan akhirnya merayap seperti lipan atau kaki seribu. Badannya yang beruas-ruas mengingatkan saya pada punggung udang. Sensitifitasnya mengingatkan saya pada binatang kuskus. Dia akan menggulung badannya saat merasa mendapat ancaman dari luar, dan akan merayap kembali saat kondisi sekitar dianggap aman.





Yang penasaran bisa melihat videonya di sini.

Saya menyebutnya sebagai ulat gulung. Dan sampai saat ini masih mencari tahu nama spesies dan kelompok marganya. Ada yang bisa membantu?

 

Minggu, 19 Februari 2012

Sekali Lagi, Pesona Jembatan Kahayan



Setiap kali ke Palangka Raya, saya tidak pernah bisa ‘tidak’ berjalan-jalan ke Jembatan Kahayan. Jaraknya tidak sampai satu kilometer dari pusat kota, bahkan juga tidak sampai setengah kilometer dari Palma alias Palangka Mall – satu-satunya mall yang ada di Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut.

Dan setiap kali berdiri di atas jembatan tersebut, saya tidak pernah ‘tidak’ tergoda untuk menyiapkan kamera karena selalu saja ada momen-moment yang menarik untuk difoto. Mulai dari puluhan warga yang juga datang ke sana, sampai kilau permukaan air sungai yang memantulkan cahaya keperakan, sampai aktifitas remaja dan nelayan yang menyandarkan perahunya persis di bawah tiang jembatan.


Sejak lama aliran Sungai Kahayan menjadi denyut nadi perekonomian Palangka Raya. Sungai yang panjangnya mencapai 250 kilometer dan bermuara di Laut Jawa ini menghubungkan tiga wilayah di Kalimantan Tengah yaitu Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kota Palangka Raya itu sendiri. Pada masanya – sebelum dibangun jaringan jalan – aliran Sungai Kahayan  menjadi satu-satunya alternatif jalur transportasi. Hasil bumi dari wilayah di hulu sungai dan bahan pokok dari Pelabuhan Palangka Raya, hilir mudik saling melengkapi kebutuhan masyarakat di sepanjang aliran sungai.





Sampai saat ini pun beberapa perahu masih melayari Sungai Kahayan, mengambil hasil bumi dari hulu dan mengantarkan sembako terutama bagi warga yang kampungnya berada di bibir sungai serta belum terjangkau jalan aspal.
Jembatan Kahayan menjadi saksi denyut perekonomian tersebut. Apalagi sejak secara tidak sadar juga menjadi ikon Palangka Raya, tempat di mana sebagian warga kota menghabiskan sore yang cerah di atasnya.





Jadi, mengulangi lagi ajakan sebelumnya, kapan Anda berkunjung ke sana?


Selasa, 07 Februari 2012

Kala Kantuk Datang Menyerang....

Kalau kantuk sudah menyerang, dapatkah ditahan?

Ada yang mengatakan bahwa tidur adalah kenikmatan kedua dalam kehidupan. Maka, jika rasa kantuk itu datang, nikmatilah. Tidak perlu ditahan, tidak perlu ditunda. Waktu dan tempat bukanlah masalah. Yang salah, tentu saja, jika kita sengaja tidur pada saat dan pada tempat yang tidak tepat.

Tidur atau tertidur saat jam kerja tentunya tidak tepat. Tapi kadang tidak bisa dihindari. Foto-foto berikut yang diambil di sekitar lokasi kerja di base camp adalah buktinya....






 

Senin, 09 Januari 2012

Mencari Alternatif Menu Sehari-hari

Persoalan utama yang dihadapi pekerja di hutan adalah menu sehari-hari. Lokasi yang jauh dari pemukiman menyebabkan sulit memperoleh sembako seperti layaknya kehidupan di pedesaan atau perkotaan. Satu-satunya yang menjadi andalan hanyalah kantin milik perusahaan. Tapi itu pun hanya menyediakan sembako kering seperti mie instan, beras, ikan asin, korned, atau sarden. Tidak ada sayuran ataupun ikan dan daging segar.



Karena itu menu sarden dan mis instan sudah menjadi kuliner khas di sana. Bisa dibayangkan betapa bosannya kalau tiap hari yang disajikan cuma indomie rebus, ikan asin bakar, atau sambal sarden. Sebagai alternatif, pekerja-pekerja di hutan mencari sumber makanan dengan cara berburu rusa atau memancing.



Dalam hal mencari daging segar, pekerja-pekerja pribumi dikenal sebagai pemburu yang handal. Mereka terampil membuat senjata rakitan sendiri yang di sana disebut dum-dum atau senapan lantak. Dengan garam sendawa (sejenis bubuk mesiu) dan peluru timah yang juga dibuat sendiri, mereka sanggup menyusuri lantai hutan di malam hari, dan kembali ke camp dengan seekor rusa atau kijang di pundak. Kalau tidak mendapat kijang, pelanduk atau landak atau burung ruai pun jadilah.
Mencari ikan juga menjadi pilihan terutama kalau lokasi base camp dekat sungai besar. Bisa dengan cara memancing, atau memasang jaring, atau menyelam sambil menombak ikan. Jenis ikan yang diperoleh biasanya ikan-ikan lokal yang tidak ditemukan di perkotaan. Yang bisa dikenali paling-paling ikan gabus (di Kalimantan dikenal sebagai Ikan Haruan), atau Lele, atau Baung.

 

Binatang buruan favorit lainnya adalah kura-kura, labi-labi, dan baning. Ketiganya hampir sejenis. Sama-sama keluarga kura-kura yang membawa-bawa tempurung di punggungnya. Hanya saja kalau labi-labi adalah amphibi yang hidup di dua alam, kura-kura dan baning hidup di darat. Labi-labi bentuknya seperti bulus, tempurungnya lebar menyerupai penggorengan dengan warna kusam abu-abu. Tempurung kura-kura dan baning (Tetsuda emys) lebih menggelembung menyerupai helm tentara. Bedanya lagi, tempurung baning punya corak lebih indah.
Labi-labi – seperti halnya katak – masih bisa dipertanyakan halal atau makruhnya. Tapi kalau baning jelas-jelas halal karena hidup di darat dan hanya memakan kulit kayu dan jamur. Dagingnya pun enak. Lebih enak lagi karena mereka gampang ditangkap. Kalau sudah kelihatan merayap di lantai hutan, tinggal diangkat dan dibawa pulang ke tenda. Labi-labi bisa bergerak cepat – lebih-lebih kalau sedang berada di dalam air – dan memiliki daging kenyal-kenyal empuk. Sementara daging baning berwarna merah seperti daging kerbau.


Yang tidak enak adalah cara menyembelihnya. Baning atau kura-kura atau labi-labi seringkali disembelih hidup-hidup!
Badan hewan merayap itu ditelentangkan, kemudian tempurungnya dibelah berkeliling dari samping. Setelah itu dibuka seperti orang membuka sekaleng sarden. Pada saat itu kempat kaki dan organ tubuh di dalamnya masih bergerak-gerak!
Adegan itulah yang sering membuat miris. Tapi kata mereka itu cara paling cepat dan praktis. “Kalau mau disembelih, di mana motongnya, Om? Lehernya keluar masuk terus, susah megangnya....”