Senin, 09 Januari 2012

Mencari Alternatif Menu Sehari-hari

Persoalan utama yang dihadapi pekerja di hutan adalah menu sehari-hari. Lokasi yang jauh dari pemukiman menyebabkan sulit memperoleh sembako seperti layaknya kehidupan di pedesaan atau perkotaan. Satu-satunya yang menjadi andalan hanyalah kantin milik perusahaan. Tapi itu pun hanya menyediakan sembako kering seperti mie instan, beras, ikan asin, korned, atau sarden. Tidak ada sayuran ataupun ikan dan daging segar.



Karena itu menu sarden dan mis instan sudah menjadi kuliner khas di sana. Bisa dibayangkan betapa bosannya kalau tiap hari yang disajikan cuma indomie rebus, ikan asin bakar, atau sambal sarden. Sebagai alternatif, pekerja-pekerja di hutan mencari sumber makanan dengan cara berburu rusa atau memancing.



Dalam hal mencari daging segar, pekerja-pekerja pribumi dikenal sebagai pemburu yang handal. Mereka terampil membuat senjata rakitan sendiri yang di sana disebut dum-dum atau senapan lantak. Dengan garam sendawa (sejenis bubuk mesiu) dan peluru timah yang juga dibuat sendiri, mereka sanggup menyusuri lantai hutan di malam hari, dan kembali ke camp dengan seekor rusa atau kijang di pundak. Kalau tidak mendapat kijang, pelanduk atau landak atau burung ruai pun jadilah.
Mencari ikan juga menjadi pilihan terutama kalau lokasi base camp dekat sungai besar. Bisa dengan cara memancing, atau memasang jaring, atau menyelam sambil menombak ikan. Jenis ikan yang diperoleh biasanya ikan-ikan lokal yang tidak ditemukan di perkotaan. Yang bisa dikenali paling-paling ikan gabus (di Kalimantan dikenal sebagai Ikan Haruan), atau Lele, atau Baung.

 

Binatang buruan favorit lainnya adalah kura-kura, labi-labi, dan baning. Ketiganya hampir sejenis. Sama-sama keluarga kura-kura yang membawa-bawa tempurung di punggungnya. Hanya saja kalau labi-labi adalah amphibi yang hidup di dua alam, kura-kura dan baning hidup di darat. Labi-labi bentuknya seperti bulus, tempurungnya lebar menyerupai penggorengan dengan warna kusam abu-abu. Tempurung kura-kura dan baning (Tetsuda emys) lebih menggelembung menyerupai helm tentara. Bedanya lagi, tempurung baning punya corak lebih indah.
Labi-labi – seperti halnya katak – masih bisa dipertanyakan halal atau makruhnya. Tapi kalau baning jelas-jelas halal karena hidup di darat dan hanya memakan kulit kayu dan jamur. Dagingnya pun enak. Lebih enak lagi karena mereka gampang ditangkap. Kalau sudah kelihatan merayap di lantai hutan, tinggal diangkat dan dibawa pulang ke tenda. Labi-labi bisa bergerak cepat – lebih-lebih kalau sedang berada di dalam air – dan memiliki daging kenyal-kenyal empuk. Sementara daging baning berwarna merah seperti daging kerbau.


Yang tidak enak adalah cara menyembelihnya. Baning atau kura-kura atau labi-labi seringkali disembelih hidup-hidup!
Badan hewan merayap itu ditelentangkan, kemudian tempurungnya dibelah berkeliling dari samping. Setelah itu dibuka seperti orang membuka sekaleng sarden. Pada saat itu kempat kaki dan organ tubuh di dalamnya masih bergerak-gerak!
Adegan itulah yang sering membuat miris. Tapi kata mereka itu cara paling cepat dan praktis. “Kalau mau disembelih, di mana motongnya, Om? Lehernya keluar masuk terus, susah megangnya....”