Senin, 28 Oktober 2013

Berpacu Dalam Debu

 
Seperti pernah diceritakan sebelumnya, bagi pekerja sektor kehutanan, musim hujan adalah masalah karena kegiatan operasional terhenti. Kegiatan penebangan terhenti dan sarana transportasi tidak berfungsi. Jika musim hujan merupakan masalah, apakah ini berarti musim kemarau merupakan berkah? 


Ya, berkah bagi yang bekerja sebagai operator di bagian produksi kayu karena kubik demi kubik mengalir ke kantung mereka. Pemilik chainsaw, operator traktor, dan supir logging truck menikmati keuntungan karena hasil kerja mereka dengan lancar dikeluarkan dari hutan. Dengan tidak adanya hujan, jalanan kering, setinggi apapun tumpukan kayu bulat di tempat penimbunan dengan mudah diangkut nyaris tanpa sisa. Dalam satu hari bisa lima sampai enam kali logging truck bolak balik menyusuri jalan angkutan yang bisa mencapai ratusan kilometer panjangnya. Proses pengangkutan itu bisa berlangsung sampai malam. Dengan kondisi jalan angkutan yang tidak diaspal, bisa dibayangkan dampak berupa kepulan debu di sepanjang jalan. Debu kecoklatan menempel di ujung-ujung daun dan mengendap lama di atap rumah. Menjadi sangat tidak menyenangkan manakala kita melakukan perjalanan di tengah kepulan debu dalam kendaraan tanpa AC. Kalau kaca ditutup jadi pengap, tapi kalau dibuka berarti membiarkan debu masuk dari segala penjuru.





Maka seperti inilah pemandangan yang bisa kita nikmati. Para pengguna jalan seolah sedang mengikuti Rally Paris Dakar di gurun pasir Afrika. Kendaraan roda enam, roda empat, dan sepeda motor berebut tempat di antara debu yang bertebaran setiap kali berpapasan atau dilewati kendaraan lain. Penumpang mobil roda empat generasi baru barangkali masih bisa tersenyum dalam kesejukan AC mereka. Tapi bagaimana dengan colt diesel yang kacanya tidak bisa diturunkan atau penumpang angkutan umum kelas ekonomi yang jendelanya kadang tidak ada?

 
Di antara itu semua tentu saja pengendara sepeda motor yang paling menderita. Mereka harus melengkapi diri dengan jaket, kaus kaki, kacamata, dan sarung tangan – bahkan kalau perlu memakai jas hujan di bawah terik matahari. Dengan segala upaya itu pun tidak berarti bisa berkendara dengan lebih nyaman. Bukan hanya debu yang musti diwaspadai. Pandangan mata yang terhalang debu menyulitkan kontrol kendaraan. Belum lagi lubang jalanan yang tersamar oleh timbunan debu dengan ketebalan bisa mencapai satu jengkal. Belum lagi resiko tersenggol truk besar yang seringkali tidak menyadari ada kendaraan kecil di sebelahnya meski lampu depan sudah dinyalakan.

 
 Lepas dari dari itu semua masih ada resiko-resiko lain yang menunggu, yaitu tambahan biaya ekstra untuk membersihkan saringan udara, jadwal mencuci pakaian lebih sering dari biasanya, dan ada kemungkinan terkena gangguan saluran pernapasan….

Kamis, 06 Juni 2013

Mengupas Kulit, Mengupas Masa Depan



Pernahkah Anda mendengar ada orang yang berprofesi sebagai pengupas kulit kayu?
Kedengarannya aneh, tapi profesi itu memang nyata. Jika di pantura ada yang sehari-harinya bekerja sebagai pengupas kulit bawang, jauuuh di pedalaman sana ada orang yang menggantungkan hidupnya sehari-hari dari hasil mengupas kulit pohon!



Tentu saja pohon yang dikupas bukanlah pohon yang masih berdiri tegak melainkan batang-batang log (atau kayu bulat) hasil penebangan yang sudah dikumpulkan di tempat penumpukan. Sebagaimana hasil alam lainnya, kayu juga rentan terhadap serangan berbagai macam serangga. Macam-macam jenisnya. Mulai dari kutu penggerek kulit kayu (Ernobius mollis), kumbang bubuk (Lyctus brunneus) yang menggerogoti isi kayu dan meninggalkan tanda berupa serbuk halus di sepanjang liangnya, sampai kumbang pengebor (Euophryum sp.) yang hobinya membuat lubang malang melintang di seantero penjuru batang. Karena itu kayu-kayu yang sudah terkumpul harus segera dikuliti sebelum serangga-serangga perusak berdatangan. Tujuannya tentu saja untuk menjaga mutu log, karena kayu yang rusak otomatis kualitasnya ikut menurun. Turunnya kualitas pada akhirnya akan berakibat pada rendahnya nilai jual kayu itu sendiri.



Para pekerja yang disebut sebagai Tukang Kupas Kulit itu (istilah kerennya debarker), bekerja hanya bermodalkan sebatang linggis atau tembilang plus kemampuan untuk menahan panas terik yang bisa seharian menerpa punggung. Bayangkan saja bagaimana mereka berada di tempat terbuka, menguliti batang demi batang dengan berbagai tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Setiap kayu memiliki karakteristik kulit yang tidak sama. Kayu kapur atau kamper (Dryobalanops aromatica) sangat mudah dikupas karena pada dasarnya memang memiliki kulit yang mengelupas seperti pohon kayu putih (Eucalyptus sp.). Batang meranti (Shorea sp) meskipun ketebalan kulitnya mencapai 3 sentimeter, tapi penampang membujurnya saling berhubungan sehingga dengan satu kupasan di ujung batang -- bayangkan pelepah pisang – mengupas sisanya cukup hanya dengan sentakan ringan saja. Tapi jenis-jenis seperti kempas, keruing, medang, atau kayu campuran lainnya, mengupas satu batang memerlukan kesabaran ekstra karena struktur kulitnya yang cenderung terputus-putus.

 
Berapa imbalan yang diperoleh Tukang Kupas Kulit setiap hari? Tarifnya berkisar antara seribu sampai dua ribu per meter kubik, tergantung jenis pohonnya. Jadi kalau satu hari bisa menguliti 20 batang dengan volume rata-rata 5 m3, bisalah di tukang kupas mengantungi sekitar dua ratus ribu rupiah per hari. Cukup untuk makan sehari-hari dan sedikit tabungan untuk hari tua.

Anda berminat mencoba?  

Rabu, 08 Mei 2013

Langit Adalah Lukisan Alam


Langit adalah lukisan alam.
Langit ibarat kanvas maha besar yang tidak pernah ada habisnya menampilkan lukisan alam berbagai bentuk dari berbagai aliran. Langit seperti lukisan pasir yang selalu berubah-ubah mengikuti kehendak pelukisnya.

 

Apa bedanya langit di perkotaan dengan langit di pedalaman?
Sebetulnya langit di mana pun sama saja. Yang membedakan hanyalah cara kita menikmatinya. Di perkotaan, langit menjadi bagian yang seringkali terlupakan. Pada saat kita mendongak ke atas, atap bangunan dan papan reklame menyita perhatian. Terlalu banyak hal-hal yang dianggap lebih penting daripada sekedar memandangi langit. Pada saat berada di ruangan – bahkan saat berada di dalam bangunan tinggi puluhan lantai pun – kita seringkali tidak menyadari apakah di luar sedang hujan atau terang benderang.

 

Di tengah hutan, langit menjadi satu-satunya hiburan. Langit juga menjadi petunjuk paling akurat dari segala bentuk perubahan suasana. Warnanya bisa berubah-ubah dari gelap ke terang, dari cerah ke kelabu, dan dari tenang menjadi bergejolak. Bahkan saat langit berwarna biru pun, gambar yang muncul bisa berubah dari sekian menit ke sekian menit berikutnya.

 

Melihat perubahan langit semakin mengingatkan betapa tidak berdayanya kita yang hanya ibarat setitik debu di tengah belantara yang sangat luas. Memandang langit sepatutnya membuat kita bersyukur karena masih diberi kesempatan menyaksikan bukti kekuasaanNya, ketika sebagian besar dari kita cenderung melupakannya….


 

Senin, 08 April 2013

Pengalaman Naik Pesawat James Bond

Pernah mendengar istilah Pesawat James Bond?
Istilah itu sebenarnya saya ciptakan sendiri ketika untuk pertama kali menaiki pesawat kecil berisi hanya sembilan kursi penumpang. Pada masa itu – tahun 1980-an – pesawat kecil berbaling-baling jenis Twin Otter merupakan satu-satunya sarana transportasi yang menghubungkan kota provinsi dengan kota kabupaten, terutama di pulau-pulau yang minim sarana transportasi darat. Ketika mendarat pertama kali di Bumi Kalimantan pada 1989, nama maskapai penerbangan DAS (Dirgantara Air Services) menjadi satu-satunya pilihan untuk bertolak ke pedalaman. Masih segar dalam ingatan saya saat itu DAS melayani trayek dari Pontianak menuju kota-kota kabupaten seperti Ketapang, Nanga Pinoh, Sintang, dan Putussibau.

Tahun lalu, tanpa diduga saya harus menggunakan pesawat jenis yang sama dalam perjalanan dari Palangka Raya ke Pangkalan Bun. Pesawatnya kecil, dilengkapi dua baling-baling di kiri dan kanan badan pesawat dengan kapasitas sekitar 18 penumpang. Pada saat check-in saya dikejutkan oleh petugas yang menanyakan berat badan. Saya menjawab, “Lima puluh dua kilo.”
Petugas check-in mencatat di buku dan menyerahkan lembaran check-in yang memperlihatkan tanda verifikasi. Tidak ada nomor kursi dan tidak ada nomor gerbang. Untuk bandara sekecil Palangka Raya memang tidak diperlukan nomor gerbang karena hanya ada satu pintu menuju landasan. Demikian juga untuk nomor kursi, tidak diperlukan untuk sedikit penumpang yang bebas duduk di mana saja, persis seperti naik angkutan kota.

Karena tidak ada lagi antrian, iseng saya bertanya, “Mbak percaya berat saya lima puluh kilo?”
Petugas itu mengangkat kepalanya dan menjawab, “Percaya. Karena sesuai dengan tinggi dan postur Bapak.”
“Kalau meragukan?”
“Akan kami timbang ulang.”
“Terus, apa hubungannya dengan penerbangan ini?”
“Pesawat kami punya batas beban maksimum. Jadi kalau berat penumpang dan berat bagasi sudah mendekati batas maksimum, check-in akan kami tutup.”
“Lha, kalau masih ada penumpang lain?”
“Terpaksa kami tolak, dan kami sarankan ikut penerbangan berikutnya.”
Dalam hati saya bersyukur karena memiliki berat normal. Saat itu juga saya teringat rekan kerja yang memiliki bobot jumbo. Terbayang bagaimana paniknya kalau saja dia ditolak naik pesawat karena berat badannya melampaui batas maksimal. Akan lebih panik lagi kalau kami datang bersamaan untuk menaiki pesawat yang sama, tapi hanya saya yang diijinkan masuk ruang tunggu sementara si jumbo harus menunggu hari berikutnya.

Prosedur memasuki pesawat tidak berbeda dengan prosedur seperti biasanya. Tapi jangan berharap ada pramugari cantik yang menunggu di pintu masuk sambil menyapa, “Selamat siang….” Tidak ada. Hanya ada seorang crew duduk di bangku paling belakang, yang berkata dengan nada datar, “Silahkan ….” sambil menyerahkan bungkusan plastik kecil berisi empat butir permen. Penumpang satu per satu memasuki pesawat dan dipersilahkan duduk di bangku-bangku yang tersedia. Jarak antara bangku penumpang dan ruangan pilot sedemikian dekat sehingga dengan jelas bisa kelihatan tangan sang pilot yang sibuk memencet-mencet puluhan tombol yang ada.



Tentu saja juga tak ada pramugari yang memberikan peragaan cara-cara menyelamatkan diri jika terjadi masalah. Peran itu diambil alih oleh pilot atau co-pilot yang menoleh ke arah penumpang, tersenyum manis, sambil berkata, “Selamat siang para penumpang sekalian…. Sebentar lagi kita akan take off…. Mohon kencangkan sabuk pengaman, matikan handphone Anda, dan berdoa menurut keyakinan masing-masing….” Meski tidak ada yang memeriksa barisan demi barisan, para penumpang biasanya mengikuti perintah pilot. Mematikan ponsel, mengencangkan ikat pinggang, membuka plastik kecil yang tadi diberikan crew di pintu pesawat dan menempelkannya di telinga. Belakangan saya baru menyadari bahwa plastik kecil itu bukan hanya berisi permen, tapi juga sepasang sumbat telinga yang berguna untuk mengurangi suara bising mesin pesawat.

Suasana setelah pesawat mengudara hampir sama seperti kalau kita naik pesawat terbang pada umumnya. Hanya saja karena ketinggian jelajahnya yang sekitar sembilan ribu kaki di atas permukaan laut, pemandangan di bawah jendela nampak jelas. Hutan, pepohonan, awan, dan atap-atap bangunan dapat dengan mudah dinikmati dari balik jendela. Itulah enaknya naik pesawat kecil. Tidak enaknya kalau cuaca buruk dan banyak awan hitam bergerombol jalur penerbangan. Pesawat akan berguncang-guncang, persis seperti naik mobil di atas jalan berlubang.


Karena sebab yang sama, guncangan juga sangat terasa saat pesawat landing atau mendarat di atas landasan. Pengumuman yang disampaikan pilot bahwa pesawat akan landing ditanggapi biasa-biasa saja. Sebagian karena umumnya penumpang tertidur, sebagian lagi karena tertelan suara bising. Penumpang baru menyadari sudah mendarat ketika suara bising selama perjalanan langsung hilang begitu mesin pesawat dimatikan. Sumbat telinga dilepas, dan sesaat gendang telinga terasa aneh. Tapi itulah nikmatnya menaiki pesawat James Bond. Ucapan terima kasih dari crew yang membuka pintu belakang terasa nyaman dan melegakan. Lebih melegakan lagi karena kita bisa langsung mengambil koper dari bagasi pesawat. Tidak perlu harus menunggu lama di ruang kedatangan…  

Senin, 04 Maret 2013

Sekolah Alam yang Sesungguhnya…

 

Apakah di camp ada sekolah? Pertanyaan ini pernah diajukan oleh seorang rekan, dan jawabannya bisa ya bisa tidak. Perusahaan-perusahaan besar yang memahami pentingnya sumber daya manusia, biasanya menyediakan sekolah di lokasi base camp. Sarana belajar tersebut dibangun seluruhnya oleh perusahaan. Bahkan guru-gurunya pun digaji perusahaan. Ada yang murni bekerja sebagai pengajar, ada juga yang paruh waktu, dalam arti tercatat sebagai karyawan kantor tapi pada siang atau sore hari menjadi guru di sekolah tersebut. Murid-muridnya terutama anak para karyawan, meski tidak tertutup kemungkinan ada juga anak masyarakat di sekitar camp yang ikut bersekolah di situ.

 

Tapi ada juga perusahaan yang tidak menyediakan sarana belajar untuk anak-anak karyawannya. Pertimbangannya bisa karena jumlah anak-anak yang sedikit, bisa karena tidak jauh dari camp ada perkampungan yang sudah memiliki sekolah. Jika di camp atau di kampong terdekat tidak ada sekolah – apaboleh buat – anak-anak harus ‘dikeluarkan’ dari lingkungan camp begitu memasuki usia belajar. Jika ada keluarga yang bisa dititipi, cukuplah si anak yang dikirim ke kampung dalam pengasuhan tante atau neneknya. Jika tidak ada wali murid – apaboleh buat – sang ibu harus rela berpisah dengan suaminya demi masa depan anak yang lebih baik.

  

Karena berada di lingkungan base camp, apa yang dilihat murid tidak jauh dari suasana operasional perusahaan. Truk-truk raksasa bermuatan kayu-kayu besar menjadi pemandangan sehari-hari. Kadang-kadang mereka juga menumpang truk tersebut jika kebetulan sedang kosong muatan. Jika tidak ada truk yang lewat, berjalan kaki menyusuri jalan angkutan kayu terpaksa harus dijalani. Bersekolah di pedalaman identik dengan sekolah di alam liar. Jalan setapak dengan rumput setinggi lutut harus dilalui, rawa-rawa dengan air menghitam harus diseberangi, dan segerombol burung rangkong (Buceros rinocheros) berkaok-kaok di atas langit mengiringi upacara pagi hari. Ketika di kota banyak yang antusias menyekolahkan anaknya di sekolah alam karena pola pengajaran yang berbeda, jauuuh di pedalaman sana anak-anak tidak perlu memilih karena berada di sekolah alam yang sesungguhnya….  

Sabtu, 05 Januari 2013

Antar Kota Antar Cuaca


Camp kami berada di tempat yang tinggi. Meski tampilan pada layar GPS hanya menunjukkan sekitar 200 meter di atas permukaan laut, tapi kami merasa sudah berada di tempat yang paling tinggi. Ini bisa dibuktikan dengan suhu yang dingin, kabut yang selalu muncul setiap malam, serta pemandangan langit yang membentang di depan mata. Kami menyebutnya Puncak Dunia.






Di atas kami hanya ada langit, sementara di bawah ada perbukitan dan hutan yang menjadi pemandangan sehari-hari. Pemandangannya pun selalu berubah-ubah. Kadang biru terang tanpa awan, kadang ada awan putih bergumpal-gumpal, kadang langit diselimuti warna gelap kelabu pertanda akan turun hujan, kadang putih merata diiringi gerimis tanpa henti. Perubahan cuaca yang tidak terduga tersebut kadang merepotkan, tapi juga terkadang menakjubkan. Bayangkan betapa sibuknya para mandor angkutan (di sana disebut Mandor Hauling) yang sudah memerintahkan Logging Truck untuk berangkat ke blok tebangan, harus bergegas menjemput para supir satu persatu karena ternyata di blok hujan deras, padahal di base camp panas terik. Bayangkan juga bagaimana para karyawan kantor harus berlarian lintang pukang menyelamatkan pakaian yang sudah terlanjur dijemur karena tadinya cuaca sangat terik, lalu dalam sekejap berubah menjadi gelap gulita pertanda hujan akan menyapa.

 

Rasa takjub itu muncul manakala kami duduk-duduk di depan kantor camp sambil memandangi perubahan cuaca yang biasanya berlangsung cepat dan seringkali dramatis. Pada saat cuaca di atas camp sangat cerah, di bawah sana justru sudah turun hujan. Atau sebaliknya, saat kami merasakan tempias air memasuki teras kantor, di seberang sana malah terang benderang. Sering kami berdiri di teras kantor, menunjuk jauh ke depan sambil berkata, “Eh lihat, di Somad (nama camp tetangga – pen.) sudah hujan….” Di kejauhan, di seberang bukit, tampak dengan jelas air tercurah dari awan gelap yang sejak beberapa menit sebelumnya menghiasi langit. Hujan itu bisa tiba-tiba berubah menjadi cerah kembali saat sinar matahari – entah darimana – muncul membelah langit. Dan kalau sedang beruntung, kami bahkan bisa menikmati hadirnya pelangi yang seolah muncul dari belakang mesjid, atau – wow! – kilat putih menyambar memecah kegelapan.



Tidaklah mengherankan apabila perjalanan menyusuri areal hutan sepanjang hampir 60 Km dapat menghadirkan beragam kondisi cuaca. Sebentar panas cerah, sesaat diterpa gerimis, kemudian cerah lagi, lalu berkabut, kemudian hujan deras mengguyur sepanjang sisa perjalanan. Kalau di Pulau Jawa ada istilah bis AKAP (atau Antar Kota Antar Provinsi), maka di camp sana mestinya ada AKAC alias Antar Kota Antar Cuaca ….