Rabu, 28 April 2010

Kereta atau Motor?


    “Keponakanku beruntung sekali kawin sama orang Sumatera. Mertuanya kaya raya. Bayangkan saja, katanya di kampung sana kebun sawitnya duabelas hektar, kebun rambungnya sepuluh hektar, motornya cuma dua tapi keretanya enam!…”

    Begitulah yang saya dengar pada suatu siang yang panas dalam metromini yang terjebak kemacetan di kawasan Senen, Jakarta. Sebagai orang yang pernah lama bekerja di Sumatera Utara, saya tahu yang dimaksud Sumatera oleh ibu tadi pastilah dari Sumatera Utara. Saya juga tidak heran kalau ia juga menyebut mertuanya punya enam buah kereta.
    Antara tahun 1990 sampai 2002 saya bekerja di Sibolga – sebuah kota kecil dengan panorama pantai yang indah – sekitar 350 Km di selatan Kota Medan. Laut membentang di depan mata, sementara perbukitan memanjang di belakang punggung.
    Angkutan kota tak seberapa ramai. Untuk angkutan sehari-hari tersedia becak yang jumlahnya ratusan. Berbeda dengan becak jawa, pengemudi becak Sibolga berada di samping. Itu untuk di dalam kota. Kalau mau keluar kota yang jalannya agak menanjak tersedia becak motor. Semacam becak juga tetapi tenaga penggeraknya sepeda motor.
    Karena jalan-jalan dengan becak kurang leluasa, saya terpikir untuk meminjam sepeda motor. Kepada teman sekantor yang asli orang Sibolga saya mengutarakan niat itu.
    “Boleh, Pak. Besok sekalian saya temani. Kita pakai kereta saja.”
    Sebetulnya saya lebih suka pakai sepeda motor saja karena lebih leluasa kalau mau berhenti atau masuk ke jalan-jalan kecil. Lagipula setahu saya tidak ada stasiun kereta di Sibolga. Lintasannya saja tidak pernah kelihatan. Tapi karena segan mendebat – mungkin rekan itu keberatan sepeda motornya dipinjam – saya diam saja.
     Ketika keesokan harinya rekan itu datang dengan sepeda motor, saya memberanikan diri berkata, “Kita naik sepeda motor saja deh. Tidak usah naik kereta api. Lebih santai, kan?”
     Sesaat kemudian saya tahu bahwa yang dimaksudkan dengan kereta kemarin ya sepeda motor itu. “Kalau di Sumatera yang namanya kereta ya sepeda motor, Pak.. Kecuali kalau disebutkan lengkap kereta api, baru maksudnya kereta yang pakai rel itu!”
    “Berarti istilah sepeda motor tidak ada ya?”
    “Tidak ada. Yang ada ya kereta, atau kereta api, atau kereta angin. Kalau kereta angin itu yang digenjot pake kaki itu, Pak. Kalau di tempat Bapak mungkin namanya sepeda ya?”
    O… sepeda onthel, kata saya dalam hati sambil tertawa.
    Setelah tahu bedanya antara kereta api, kereta angin, dan kereta saja, dua hari kemudian saya kembali dikejutkan dengan istilah yang lain lagi. Hari itu saya akan mengunjungi pembibitan yang letaknya sekitar 13 Km dari kantor proyek. Secara kebetulan ada sebelas karyawan yang juga akan ke sana. Karena saya belum tahu tempatnya, maka saya minta supaya nanti berangkat bersama-sama.
    Sampai tiga jam kemudian masih juga belum ada pemberitahuan. Karena sudah pukul sebelas siang – sementara saya berencana akan pulang pergi – saya kembali ke depan. Ternyata ke sebelas karyawan tadi masih duduk-duduk santai sambil ngobrol dan merokok.
    “Kok belum berangkat?” tanya saya.
    “Belum, Pak, motornya belum datang.”
    “Jadi kita mau naik motor? Apa motor bisa masuk ke lokasi yang banyak tanjakannya? Lagipula kita kan duabelas orang, berapa motor yang nanti kita perlukan?”
    Sebagian dari para karyawan itu tertawa. Setengah jam kemudian yang datang menjemput adalah dumptruk proyek yang bisa memuat sampai seratus orang di bak belakang. Saya yang kebagian duduk di kabin depan, di samping supir, kemudian baru ngeh bahwa yang dimaksudkan dengan motor tak lain adalah mobil.
    Setelah bertahun-tahun kemudian saya semakin paham bahwa di Sumatera Utara semua kendaraan roda empat disebut motor. Baik itu kendaraan proyek, mobil pribadi, maupun motor sewa – yaitu angkutan umum untuk menarik penumpang.


Pernah dimuat di Intisari no.492/Juli 2004