Tentu saja banyak pilihan jawabannya. Di antaranya adalah sinar matahari
yang suka atau tidak suka, perlu atau tidak perlu, selalu menyapa setiap pagi. Jika pertanyaan itu diajukan kepada pekerja di
tengah hutan, jawabannya mungkin saja adalah hijaunya pepohonan. Jika diajukan
kepada pekerja di tengah hutan yang berada pada ketinggian antara 100 sampai 500
meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata mencapai 195 mm
setiap bulan, dan jumlah bulan basah antara lima sampai tujuh bulan per tahun, jawabannya bisa jadi adalah
kabut.
Ya, bagi pekerja di tengah hutan, kabut adalah pemandangan sehari-hari. Terlebih
lagi di musim hujan, di mana kabut sudah muncul pagi-pagi sekali dan bisa
bertahan sampai pukul delapan atau sembilan pagi. Ketika rekan-rekan sejawat di
Jawa sana harus rela bermacet ria menuju kawasan puncak hanya untuk melihat
kabut, di hutan sana para pekerja lapangan hanya perlu membuka korden jendela
saat segerombolan kabut menyergap dari mana-mana.
Mereka bisa sambil duduk santai di teras, ditemani sebatang rokok dan
secangkir kopi, sambil menunggu cahaya matahari untuk sekedar memanaskan badan,
meski terbitnya matahari seringkali tidak sanggup menembus tebalnya kabut.
Alih-alih mencerahkan suasana pagi, sinar matahari kadang ibarat bulan di balik
awan. Setelah ditunggu beberapa lama, kadang hanya sanggup memecah kumpulan
kabut menjadi serpihan kapas putih terapung-apung pada beberapa tempat.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan jika setiap hari dikepung kabut?
Just enjoy it. Nikmati saja. Rasakan saja. Terima saja
sebagai sajian alam yang belum tentu masih bisa kita nikmati di lain hari.
Tidak perlu dipikirkan benar. Karena pada akhirnya kabut akan memudar seiring
tingginya hari, meski juga akan kembali menyapa di keesokan hari….