Pernah mendengar istilah Pesawat James Bond?
Istilah itu sebenarnya saya ciptakan sendiri ketika untuk pertama kali menaiki pesawat kecil berisi hanya sembilan kursi penumpang. Pada masa itu – tahun 1980-an – pesawat kecil berbaling-baling jenis Twin Otter merupakan satu-satunya sarana transportasi yang menghubungkan kota provinsi dengan kota kabupaten, terutama di pulau-pulau yang minim sarana transportasi darat. Ketika mendarat pertama kali di Bumi Kalimantan pada 1989, nama maskapai penerbangan DAS (Dirgantara Air Services) menjadi satu-satunya pilihan untuk bertolak ke pedalaman. Masih segar dalam ingatan saya saat itu DAS melayani trayek dari Pontianak menuju kota-kota kabupaten seperti Ketapang, Nanga Pinoh, Sintang, dan Putussibau.
Tahun lalu, tanpa diduga saya harus menggunakan pesawat jenis yang sama dalam perjalanan dari Palangka Raya ke Pangkalan Bun. Pesawatnya kecil, dilengkapi dua baling-baling di kiri dan kanan badan pesawat dengan kapasitas sekitar 18 penumpang. Pada saat check-in saya dikejutkan oleh petugas yang menanyakan berat badan. Saya menjawab, “Lima puluh dua kilo.”
Petugas check-in mencatat di buku dan menyerahkan lembaran check-in yang memperlihatkan tanda verifikasi. Tidak ada nomor kursi dan tidak ada nomor gerbang. Untuk bandara sekecil Palangka Raya memang tidak diperlukan nomor gerbang karena hanya ada satu pintu menuju landasan. Demikian juga untuk nomor kursi, tidak diperlukan untuk sedikit penumpang yang bebas duduk di mana saja, persis seperti naik angkutan kota.
Karena tidak ada lagi antrian, iseng saya bertanya, “Mbak percaya berat saya lima puluh kilo?”
Petugas itu mengangkat kepalanya dan menjawab, “Percaya. Karena sesuai dengan tinggi dan postur Bapak.”
“Kalau meragukan?”
“Akan kami timbang ulang.”
“Terus, apa hubungannya dengan penerbangan ini?”
“Pesawat kami punya batas beban maksimum. Jadi kalau berat penumpang dan berat bagasi sudah mendekati batas maksimum, check-in akan kami tutup.”
“Lha, kalau masih ada penumpang lain?”
“Terpaksa kami tolak, dan kami sarankan ikut penerbangan berikutnya.”
Dalam hati saya bersyukur karena memiliki berat normal. Saat itu juga saya teringat rekan kerja yang memiliki bobot jumbo. Terbayang bagaimana paniknya kalau saja dia ditolak naik pesawat karena berat badannya melampaui batas maksimal. Akan lebih panik lagi kalau kami datang bersamaan untuk menaiki pesawat yang sama, tapi hanya saya yang diijinkan masuk ruang tunggu sementara si jumbo harus menunggu hari berikutnya.
Prosedur memasuki pesawat tidak berbeda dengan prosedur seperti biasanya. Tapi jangan berharap ada pramugari cantik yang menunggu di pintu masuk sambil menyapa, “Selamat siang….” Tidak ada. Hanya ada seorang crew duduk di bangku paling belakang, yang berkata dengan nada datar, “Silahkan ….” sambil menyerahkan bungkusan plastik kecil berisi empat butir permen. Penumpang satu per satu memasuki pesawat dan dipersilahkan duduk di bangku-bangku yang tersedia. Jarak antara bangku penumpang dan ruangan pilot sedemikian dekat sehingga dengan jelas bisa kelihatan tangan sang pilot yang sibuk memencet-mencet puluhan tombol yang ada.
Tentu saja juga tak ada pramugari yang memberikan peragaan cara-cara menyelamatkan diri jika terjadi masalah. Peran itu diambil alih oleh pilot atau co-pilot yang menoleh ke arah penumpang, tersenyum manis, sambil berkata, “Selamat siang para penumpang sekalian…. Sebentar lagi kita akan take off…. Mohon kencangkan sabuk pengaman, matikan handphone Anda, dan berdoa menurut keyakinan masing-masing….”
Meski tidak ada yang memeriksa barisan demi barisan, para penumpang biasanya mengikuti perintah pilot. Mematikan ponsel, mengencangkan ikat pinggang, membuka plastik kecil yang tadi diberikan crew di pintu pesawat dan menempelkannya di telinga. Belakangan saya baru menyadari bahwa plastik kecil itu bukan hanya berisi permen, tapi juga sepasang sumbat telinga yang berguna untuk mengurangi suara bising mesin pesawat.
Suasana setelah pesawat mengudara hampir sama seperti kalau kita naik pesawat terbang pada umumnya. Hanya saja karena ketinggian jelajahnya yang sekitar sembilan ribu kaki di atas permukaan laut, pemandangan di bawah jendela nampak jelas. Hutan, pepohonan, awan, dan atap-atap bangunan dapat dengan mudah dinikmati dari balik jendela. Itulah enaknya naik pesawat kecil. Tidak enaknya kalau cuaca buruk dan banyak awan hitam bergerombol jalur penerbangan. Pesawat akan berguncang-guncang, persis seperti naik mobil di atas jalan berlubang.
Karena sebab yang sama, guncangan juga sangat terasa saat pesawat landing atau mendarat di atas landasan. Pengumuman yang disampaikan pilot bahwa pesawat akan landing ditanggapi biasa-biasa saja. Sebagian karena umumnya penumpang tertidur, sebagian lagi karena tertelan suara bising. Penumpang baru menyadari sudah mendarat ketika suara bising selama perjalanan langsung hilang begitu mesin pesawat dimatikan. Sumbat telinga dilepas, dan sesaat gendang telinga terasa aneh. Tapi itulah nikmatnya menaiki pesawat James Bond. Ucapan terima kasih dari crew yang membuka pintu belakang terasa nyaman dan melegakan. Lebih melegakan lagi karena kita bisa langsung mengambil koper dari bagasi pesawat. Tidak perlu harus menunggu lama di ruang kedatangan…
Naik pesawat jjika selamat, maka mesti bersyukur sekali. Karena resiko dalam perjalanan menggunakan pesawat lebih besar ketimbang naik transportasi lainnya. Seperti yang saat ini menimpa pesawat Malaysia Airlines. Ada berita terbaru yang masih simpang siur seperti yang dilansir dari website pengumpul berita iyaa.com bahwa dugaan aksi terorisme serta pembajakan pada penerbangan Malaysia Airlines, belum surut. Malah berdasarkan hasil penyelidikan AS menyebutkan, kalau kedua dugaan tersebut belakangan justru makin menguat. Asumsinya, pesawat MH370 itu diduga masih sempat terbang selama empat jam dengan menempuh penerbangan sejauh ratusan kilometer, setelah dinyatakan hilang dari radar. Dilansir dari Wall Street Journal (WSJ), Kamis 13 Maret, spekulasi ini muncul setelah adanya laporan para penyelidik Amerika Serikat yang menyampaikan data dari Aircraft Communications Addressing and Reporting System (ACARS) yang diterima perusahaan Boeing dan Rolls Royce sebagai produsen pesawat dan mesin.
BalasHapus... Hanya satu kesan saya soal kasus MH370 : alam memang tidak bisa dilawan. Dengan segala kecanggihan yang kita miliki, satelit, radar, internet, GPS, ternyata tetap tidak mudah menemukan benda sebesar itu. Bagaimana kalau sepeda motor kita yang hanya sepertigaratus-nya yang hilang?
HapusBtw, thanks atas komentnya....