Senin, 23 April 2012

Diasap, Dijemur, Diasin ....




Kemampuan para pekerja hutan dalam hal berburu sudah tidak diragukan lagi. Dan kemampuan itu semakin terasah manakala mereka harus berimprovisasi terhadap persediaan bahan makanan yang terbatas. Kondisi ini semakin diuntungkan dengan banyaknya pribumi setempat yang bergabung menjadi anggota survey. Gambaran orang Dayak yang bersumpit dan membawa tombak semakin lama semakin tergeser dengan hadirnya senjata api.



Bukanlah pemandangan yang istimewa kalau kita berpapasan dengan pribumi yang menyandang senjata laras panjang di pungungnya. Itulah yang selama ini disebut-sebut dengan istilah senapan lantak atau dumdum. Senjata yang dirakit sendiri dari kayu keras sebagai popornya, dan pipa besi sebagai larasnya. Di setiap regu survey selalu ada yang memiliki senapan lantak. Dalam satu regu bahkan bisa lebih dari dua atau tiga buah. Juga bukan sesuatu yang ganjil kalau mereka membawa-bawa senapan saat bekerja menyususuri lantai hutan, berharap bertemu rusa atau kijang – atau babi pun jadilah, karena sebagian besar memang non muslim – sebagai tambahan lauk pauk.



Suara letusan yang menggema di tengah hutan menjadi tanda. Kalau letusannya hanya satu kali, kemungkinan buruannya langsung kena. Kalau sampai dua kali berurutan, kemungkinan yang pertama tidak kena dan tembakan kedua untuk memastikan. Memperoleh seekor rusa berarti pesta besar. Setidaknya untuk satu hari pertama bakal ada sup daging di tengah menu. Selebihnya, daging diasap atau dijemur setelah sebelumnya dilumuri garam. Cara tadi merupakan satu bentuk pengawetan bahan pangan untuk memperpanjang masa pakainya. Dengan menyimpan daging awetan, setidaknya untuk sekian hari ke depan, mereka tidak perlu menggerutu lagi dengan, "mie lagi, mie lagi...."



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar