Penjelasan ini perlu untuk menghindari terjadinya salah pengertian. Ada anggapan bahwa HPH menebang habis semua pohon yang ada di hutan. Pada kenyataannya hanya pohon dengan diameter tertentu yang diijinkan ditebang. Secara umum HPH hanya diijinkan menebang pohon dengan diameter di atas 50 Cm. Diameter di bawahnya harus ditinggalkan untuk ‘tabungan’ pada rotasi tebang berikutnya.
Begitu juga dengan kegiatan penanaman. Ada anggapan bahwa seluruh areal yang telah ditebang harus ditanami lagi. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Yang harus ditanami hanya areal yang betul-betul terbuka dan tidak memiliki anakan alami. Areal yang betul-betul terbuka biasanya berada di sepanjang jalan angkutan dan di bekas tempat pengumpulan kayu. Di situlah ditanami bibit jenis tanaman kehutanan seperti meranti, bengkirai, atau keruing dengan jarak tanam 3 x 3 meter. Kegiatannya sendiri disebut Penanaman Kiri Kanan Jalan.
Hutan bekas areal penebangan juga harus ditanami lho! Apalagi jika jumlah anakan yang ada dirasakan kurang. Kurangnya anakan itu bisa terjadi karena hutannya dibuka untuk pembuatan jalan angkutan, bisa karena mati akibat proses penebangan itu sendiri. Pernah ada penelitian yang menyebutkan bahwa setiap kali sebatang pohon berdiameter 50 Cm ditebang, ada sekitar 17 anakan yang mati karena tertimpa. Peraturan kehutanan juga pernah mensyaratkan minimal terdapat 25 anakan dalam setiap hektar apabila perusahaan ingin dibebaskan dari kewajiban menanami kembali hutannya.
Dalam kenyataannya jumlah anakan di bawah tegakan sangat banyak jumlahnya. Mendapatkan 25 anakan – terlebih dari tingkat semai – bukanlah hal yang sulit. Alih-alih menanami kembali, perusahaan akhirnya memelihara saja anakan yang ada. Lebih praktis, lebih murah, dan lebih terjamin pertumbuhannya daripada harus ditanam sendiri. Kegiatannya sendiri dikenal sebagai Pengayaan karena tujuannya memang untuk memperkaya jumlah dan jenis anakan yang sudah ada.
Selain itu ada lagi yang disebut Penanaman Tanah Kosong atau Penanaman Areal Non Produktif. Sesuai dengan namanya, areal tersebut memang kosong dalam arti tidak memiliki potensi apa-apa. Areal semacam itu dapat berupa semak belukar, hutan muda, atau lokasi terbuka yang dijadikan sarana dan prasarana camp.
Jenis pohon yang ditanami tergantung lokasi. Kalau berada di dalam kawasan hutan yang ditanam adalah bibit tanaman kehutanan. Tapi kalau berada dalam areal non produktif, bisa ditanami tanaman pelindung yang cepat tumbuh semisal sengon, sungkai, jabon, atau mahoni. Bisa juga ditanami pohon buah-buahan. Dalam dunia kehutanan pohon-pohon jenis terakhir biasa disebut dengan tanaman MPTS alias Multi Purposed Trees Species.
Untuk keperluan itu perusahaan membangun persemaian. Ada yang dibuat di bawah tegakan alam, ada juga yang menggunakan paranet atau sarlon sebagai pelindung. Untuk jenis tanaman kehutanan, bibitnya diambil dari dalam hutan. Bisa berupa biji atau pun cabutan. Karena musim berbunga hanya empat tahun sekali, perusahaan lebih mengandalkan anakan alam. Bibit-bibit muda itu (setinggi sekitar sejengkal) dicabuti dari lantai hutan, kemudian ditanam dalam polybag-polybag, untuk seterusnya dibesarkan di areal persemaian. Setelah cukup umur barulah dikirim ke lokasi-lokasi penanaman.
Jadi, jangan berpikir HPH itu hanya menebang saja. Selain menebang juga ada kewajiban untuk menamani kembali. Itulah sebabnya sistim kerja kami dinamakan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Sistim tadi bermakna: menebang secara selektif sesuai batas diameter minimum dan menanami kembali areal bekas penebangan. Dengan sistim tadi diharapkan hutan Indonesia dapat terjaga kelestariannya.
Untuk tujuan itulah, kami – khususnya para rimbawan – berada di sana....
Pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 berikut Pedoman Pelaksanaannya (Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI-BPHA/2009) tidak ditemukan lagi kegiatan ITT. Bagaimana untuk mengetahui jumlah bibit yang harus ditanam pada areal bekas tebangan (tanaman pengayaan) ?
BalasHapusBetul kang, sejak ada ketentuan itu kita tdk lg melakukan ITT. Memang jadi mengurangi pekerjaan, tp secara pribadi sy tidak setuju krn kita jd tidak tahu potensi tegakan sisa yang ada. Hal ini sering sy sampaikan setiap kali ada kesempatan ketemu orang dishut atau konsultan yg berkunjung ke camp.
HapusUntuk menyiapkan bibit kita membuat asumsi saja, bahwa luas yg perlu diperkaya sebanyak 20% dr luas penebangan dan untuk rehabilitasi sebanyak 10% dr luas penebangan per tahunnya.
Dalam kenyataannya, jumlah anakan di areal bekas tebangan banyak sekali sehingga alih2 menanam, kita hanya memelihara anakan yang ada. Bibit dr persemaian lebih banyak terpakai untuk rehabilitasi, penanaman ANP, dan Ki-ka.
Nuhun atas tanggapannya, kang....