Kesulitan awal yang harus saya hadapi ketika bertugas di Sumatera Utara adalah masalah marga. Pertama, banyak nama marga yang baru pertama kali saya dengar. Selama di Pulau Jawa, marga suku Batak yang terdengar paling-paling Siregar, Simatupang, Silitonga, atau Si- Si- lainnya. Makanya waktu pertama kali berkenalan, saya terkaget-kaget karena banyak marga yang baru sekali itu saya dengar. Misalnya Marbun, Harianja, Barutu, Pinem, ataupun Gaja.
Masalah kedua, mereka lebih suka dipanggil nama marganya daripada nama depannya!
Ini merepotkan karena bukan cuma satu orang yang bermarga Siregar. Ada Maruli Siregar, Marsihat Siregar, atau Monang Siregar. Repotnya karena di dalam daftar karyawan ketiganya tercatat sebagai M. Siregar! Kalau ada sesama karyawan yang bertanya, misalnya, “Pak, ada melihat Siregar?” Maka saya akan ganti bertanya, “Siregar yang mana?”
“Siregar yang supir dumptruk itu!”
O, baru saya tahu siapa yang dimaksudkannya.
Waktu masalah ini saya sampaikan, anggota saya yang bernama Ganda Siregar malah membenarkan. “Iya, Pak, kalau kami orang Batak lebih suka disebut marganya. Supaya lebih terasa kebersamaan dan kekeluargaannya. Jadi kalau Siregar-Siregar sedang berkumpul, semuanya merasa sama. Tidak ada Siregar yang supir, tidak ada Siregar yang kepala bagian.”
Untuk membedakan Siregar yang satu dengan Siregar yang lainnya ditambahkanlah jenis profesinya masing-masing. Nama panggilannya menjadi berbeda dengan nama yang tercatat dalam daftar karyawan. Ada Siregar Dumptruk (yang supir dumptruk), ada Siregar Las (yang tukang las), ada juga Siregar Survey (yang kerjanya survey).
Masalah kemudian muncul kalau ada dua marga yang sama yang bekerja di bagian yang sama pula. Maka lahirlah nama Sirait Parapat (yang asalnya dari Kota Parapat) dan Sirait Medan (yang mengaku sebagai anak Medan).
Ada juga karyawan yang bukan Batak yang sama-sama bernama Supriyadi, sama-sama supir logging truk, dan sama-sama berasal dari Aceh. Untuk membedakannya, yang lebih dulu masuk kerja dipanggil Supriyadi A. Sementara yang masuk belakangan dinamai Supriyadi B.
Kasus nama yang sama ini memang banyak dijumpai di desa-desa yang terpencil. Lingkungan desa yang sederhana tidak memerlukan nama yang aneh-aneh – seperti anak-anak kota jaman sekarang. Pernah pada satu saat ada tiga orang yang bernama Nasib. Hanya Nasib saja. Tanpa marga, tanpa nama belakang, tanpa nama keluarga. Masalah muncul karena bagian personalia mengira itu kesalahan tulis saja. Dipikirnya nama satu orang yang didaftar sampai tiga kali. Setelah tahu bahwa ketiga-tiganya ada dan eksis di perusahaan, maka dibuatlah nama Nasib I, Nasib II, dan Nasib III.
“Kayak nama raja-raja saja,” komentar karyawan lainnya. Mungkin dia teringat Sultan Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X.
Lalu bagaimana kalau ada karyawan yang nama atau marganya sama, pekerjaannya sama, kampung asalnya sama, dan tanggal masuknya juga sama? Memang kejadian seperti itu belum pernah terjadi. Tapi kalaupun ada, percayalah, selalu ada cara untuk menemukan pemecahannya.
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Januari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar