Kamis, 13 Mei 2010

Buahnya Gratis

Saat paling menyenangkan jika bekerja dekat perkampungan adalah saat musim buah-buahan. Begitu juga sewaktu saya bertugas di pedalaman Kabupaten Mandailing Natal – Sumatera Utara. Masyarakat di sana banyak yang memiliki kebun buah-buahan. Mulai dari kebun durian, rambutan, jeruk manis, kueni, atau langsat – semacam duku tapi rasanya agak masam.
Karena transportasi ke pasar sangat jauh dan ongkosnya mahal, mereka lebih suka menjual di desa sendiri. Karena itu harganya juga murah. Apalagi kalau kita mau datang langsung ke kebun mereka.
Memang melelahkan, karena kebun mereka biasanya berada di balik bukit. Untuk mencapainya bisa memerlukan setengah sampai satu jam perjalanan. Yang menarik dari transaksi di kebun adalah: kita boleh mencicipi sepuas-sepuasnya.
Sambil beramah-tamah dengan pemilik kebun, kita bisa duduk-duduk sambil menikmati durian atau kueni atau rambutan yang baru dipetik dari tangkainya. Dan untuk semua itu kita tidak perlu membayar. Yang perlu dibayar hanyalah buah-buahan yang kita bawa pulang.
“Wah, enak dong. Kita cicipi sepuasnya, belinya cukup satu dua.”
Memang enak. Tapi rasanya risih juga kalau hanya beli sedikit. Maka biasanya masing-masing membawa seberapa sanggupnya. Kalau durian ya segandeng seorang. Kalau kueni masing-masing sekantong plastik.
Kalau semuanya tidak sanggup membawa karena kekenyangan?
Tidak usah kuatir, pemilik kebun bersedia membawakan sampai kampung. Dan untuk ukuran mereka sekarung durian atau sekarung langsat belum apa-apa. Maka pulanglah kami dengan oleh-oleh sekarung buah-buahan.
Sudah harganya murah, kenyang mencicipi, dibawakan lagi!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar