Dalam satu kesempatan saya berkunjung ke Binjai, kota kecil yang terletak sekitar 27 Km ke arah barat luar kota Medan. Jalannya mulus dan ada bis kota yang melayani Medan-Binjai tiap hari. Alamat yang saya tuju hanya menyebutkan Pasar II nomor 38 Binjai. Meskipun begitu saya percaya tidak akan sulit menemukannya – karena Binjai tidaklah terlalu besar – kurang lebih sama dengan Sibolga.
Turun dari bis kota saya langsung memanggil becak motor yang sudah berkerumun mencari penumpang. “Ke pasar dua, Bang!” kata saya sambil duduk santai di bangku penumpang.
Teori saya sederhana saja. Yang namanya pasar pasti ramai, setidak-tidaknya becaknya terkena kemacetan. Jadi setelah pasar yang kedua baru saya memperhatikan nomor rumah di kanan jalan.
Ternyata setelah sekian lama pasarnya tidak terlewati juga. Saya mulai resah. Apalagi jalannya semakin sepi. Rumah-rumah semakin jarang. Kiri-kanan cuma kebun melulu. Akhirnya saya bertanya kepada tukang becak, “Pasarnya masih jauh, Bang?”
Becaknya langsung berhenti. “Pasar dua ya ini, Mas.”
“Lho, yang mana pasarnya?”
“Kalau di sini yang namanya pasar itu ya jalan. Pasar dua artinya jalan yang kedua. Nomor rumahnya berapa, Mas?”
Saya menyebutkan nomor yang dimaksud.
Becak berbalik arah dan tak sampai lima menit kemudian rumah yang dicari sudah ketemu – walaupun ‘pasarnya’ tidak. Untunglah sebutan pasar untuk menyebut jalan itu biasanya berakhir kalau jalannya sudah diberi nama oleh pemerintah. Kalau tidak, kasihan tukang becak. Bakal susah mengingat-ingat kalau sampai ada ‘pasar sembilan puluh tujuh’ misalnya.
Setahun kemudian saya mengikuti diklat di Pondok Buluh – sebuah hutan pendidikan milik Dinas Kehutanan Pematang Siantar – sekitar 16 Km ke arah Parapat. Asramanya terletak di tengah hutan pinus, tiga kilometer dari jalan raya. Pada suatu hari minggu saya ingin jalan-jalan ke kota Siantar. Untuk memastikan saya bertanya kepada penjaga asrama.
“Ikuti saja jalan itu, Pak. Nanti kalau sudah sampai pasar hitam, naik bis yang ke kiri. Bis apa saja. Pasti sampai Siantar.”
Saya mengikuti petunjuknya. Karena sudah pernah punya pengalaman sebelumnya, saya tidak begitu kaget sewaktu jalannya berakhir di tepi jalan raya. Itulah pasar hitam, jalan besar beraspal hitam mulus yang menghubungkan Medan dengan kota-kota lainnya di Sumatera Utara…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar