Di desa-desa terpencil, televisi menjadi satu-satunya hiburan, meskipun untuk dapat menangkap siarannya memerlukan antena parabola. Begitu juga yang saya alami sewaktu bertugas di pedalaman Kabupaten Mandailing Natal pada awal-awal 1990an. Saat itu sedang ramai-ramainya stasiun tivi swasta menayangkan film-film Asia, khususnya India dan Hongkong, yang menjadi acara favorit penduduk di sana.
Kalau sudah ada pemutaran flm-film India, rumah-rumah atau kedai yang dilengkapi pesawat tivi bakalan penuh sesak oleh penonton. Hebatnya lagi, mereka menyukai film-film yang sudah di-dubbing ke dalam Bahasa Indonesia. Kalau ada film yang tidak di-dubbing – tetap dalam bahasa aslinya tetapi disertai teks terjemahan – mereka bisa menggerutu panjang lebar.
Bukan main, kagum saya dalam hati, begitu nasionalisnya mereka terhadap Bahasa Indonesia!
Pada saat saudara se-tanah air di kota-kota lain begitu bangga dengan istilah-istilah yang berbau bahasa asing, mereka tetap konsisten mencintai bahasa nasional mereka.
Belakangan saya tahu bahwa mereka menyukai film-film dubbing karena bisa segera tahu jalan ceritanya. Tidak perlu repot-repot membaca teks terjemahannya. Sebab sebagian besar penduduk memang tidak lancar membaca. Bahkan banyak di antaranya yang masih buta huruf!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar